Selasa, 04 Agustus 2009

Pagerwesi


Setiap Buda Kliwon Sinta, kita (umat Hindu) merayakan rerahinan Pagerwesi. Dari kediaman sekarang (Blitar), saya membayangkan daerah-daerah yang mayoritas penduduknya umat Hindu pasti sudah tampak sibuk mempersiapkan sarana upakara untuk merayakan Pagerwesi. Umat, terutama ibu-ibu sudah tampak menghaturkan sesajen atau banten di merajan atau sanggah masing-masing di pagi hari. Beberapa di antara mereka selanjutnya menuju Pura yang ada di desanya masing-masing atau ke Pura Jagatnatha. Karena varna yang berbeda dari umat, masing-masing menyesuaikan waktunya untuk tangkil ke Pura. Para pemangku memberikan pelayanan dengan sabar yang sejak pagi sudah didatangi pemedek guna melakukan persembahyangan. Di Bali khususnya, di Pura-Pura yang sehari-harinya juga menjadi daerah kunjungan wisata, biasanya pemedek tampak berbaur dengan sejumlah wisatawan mancanegara yang memasuki areal pura (non-Utama Mandala) diantar oleh guide-nya. Mereka rupanya ingin menyaksikan dari dekat proses persembahyangan di pura tersebut. Nampaknya umat yang sudah terbiasa dengan situasi itu tidak begitu terpengaruh oleh kehadiran bule-bule tersebut yang sedikit menyesuaikan dalam hal busana walaupun “sraba-srebe”.

RENUNGAN

Dalam melaksanakan kewajiban selaku umat pemuja Brahman, pernahkah kita merenungkan: Apa sesungguhnya hakekat perayaan Pagerwesi? Disebutkan bahwa Pagerwesi sebagai hari payogan Sang Hyang Pramesti Guru, Jiwa Utama Brahman sebagai Guru Tertinggi atau gurunya segala guru.

Tentang nama Brahman yang diberikan sebagai Sang Hyang Pramesti Guru, saya mempunyai pengertian: “Sang” adalah sebutan kehormatan, “Hyang” berarti yang maha, “Pramesti” terdiri dari kata “Parama” yang berarti agung, luhur, tertinggi dan “Isti” berarti permohonan, “Guru” dalam hal ini adalah Guru Swadhyaya yaitu Brahman. Jadi, Sang Hyang Pramesti Guru adalah Jiwa Utama Brahman sebagai Sang Maha Pengabul pada semua permohonan yang luhur.

Perayaan Pagerwesi masih satu rangkaian dengan perayaan Saraswati. Dalam perayaan Saraswati, kita memuja Shakti Brahman sebagai sumber dari segala sumber pengetahuan, dan sumber kebijaksanaan. Setinggi-tingginya ilmu pengetahuan yang dimiliki seseorang, itu tidak akan berarti apa-apa untuk kesempurnaan jiwanya, jika hal itu tidak menuntunnya untuk memuja Brahman yang merupakan pengetahuan murni dirinya. Abdikanlah ilmu pengetahuan yang telah dianugerahkan kepada kita untuk mewujudkan kedamaian dan kesejahteraan bagi alam semesta sesuai dengan varna yang telah ditentukan pada diri kita masing-masing. Komitmen tersebut mesti mampu menjadi pagar atau benteng (“pura” sejati dalam diri) yang kokoh untuk melindungi diri kita dari segala macam godaan selama mengarungi samudera kehidupan. Dengan membekali diri dengan ilmu pengetahuan, umat diharapkan memiliki wawasan yang luas, sekaligus mampu menghadapi berbagai persoalan hidup.
Pada perayaan Pagerwesi ini, mari kita panjatkan permohonan-permohonan dan kukuhkan komitmen-komitmen yang luhur. Berkomitmen untuk melaksanakan dharma lebih baik lagi dari hari-hari sebelumnya.

“yathadityah samudyan vai tamah sarvvam vyapohati,
evam kalvanamatistam sarvvapapam vyapohati.”

(Sarasamuccaya, sloka16)

Kadi kramaning Sang Hyang Aditya, umijil angilangaken petenging rat, mangkana titikaning wong amulahaken ing dharma, angilangaken sakabehing papa.

(Seperti halnya perilaku matahari yang terbit melenyapkan kegelapan dunia, demikianlah ciri-cirinya pada orang yang melaksanakan dharma, adalah memusnahkan segala macam kenistaan jiwa).

Om dirghayuastu tad astu astu,
Om awighnamastu tad astu astu,
Om subhamastu tad astu astu,
Om sriyam bhawantu, sukham bhawantu, purnam bhawantu.
Om a no badrah kratawo yantu wiswatah.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar