Senin, 21 Desember 2009

Bhagavad-Gita II.29


Bhagavad-Gita II.15

yam hi na vyathayanty ete
puruşam puruşarşabha,
sama-duhkha-sukham dhīram
so ‘mŗtatvāya kalpate.

Sesungguhnya orang yang teguh pikirannya, yang merasakan sama, tetap tenang dalam kesusahan dan kesenangan, orang seperti inilah yang patut memperoleh kehidupan abadi (kebahagiaan sempurna).

Kehidupan abadi berbeda dengan mengatasi kematian yang diberikan pada setiap penjelamaan. Itu merupakan pelampauan terhadap kelahiran dan kematian. Selama kita masih menjadi sasaran kesedihan dan penderitaan, terganggu oleh kejadian-kejadian material, yang seharusnya diatasi, menunjukkan bahwa kita masih akan menjadi korban dari avidya atau kebodohan.


Bhagavad-Gita II.28


avyaktādīni bhūtāni
vyakta-madhyāni bharata,
avyakta-nidhanāny eva
tatra kā paridevanā.

Semua makhluk ciptaan itu pada mulanya tidak kelihatan, terlahir pada saat pertengahan, dan pada akhirnya lenyap dari wujudnya. Mengapa harus menyesali (bersedih) karenanya.





Bhagavad-Gita II.29

āścarya-vat paśyati kaścid enam
āścarya-vad vadati tathaiva cānyah,
āścarya-vac caiman anyah śŗņoti
śrutvāpy enam veda na caiva kaścit.

Seseorang melihat kebesaran-Nya, yang lain mengatakan tentang keagungan-Nya, yang lain mendengar tentang kemuliaan-Nya, namun setelah mendengar-Nya, tak seorang pun memahami-Nya.

Walaupun kebenaran tentang Sang Diri merupakan hak bebas dari umat manusia, itu hanya dapat dicapai oleh beberapa orang saja, yang berkehendak untuk memberikan nilai pada pendisiplinan diri, kemantapan dan ketidakterikatan. Walaupun kebenaran itu terbuka bagi semua orang, banyak dari mereka tak merasa perlu untuk mencarinya. Bagi mereka yang merasa perlu, banyak dari mereka merasa takut dengan kesulitan-kesulitan yang akan dijumpainya. Hanya sedikit jiwa yang berhasil dalam menghadapi mara bahaya semacam itu dan mencapai tujuannya.


dikutif dari Sradha

Sabtu, 19 Desember 2009

Kata - Kata Mutiara


Young men's knocks old men feel. - Proverb, (english)

You have to stay in shape. My grandmother, she started walking five miles a day when she was 60. She's 97 today and we don't know where the hell she is. - Ellen Degeneres

Trying is a part of failing. If you are afraid to fail then you're afraid to try. - Mrs. Cunningham

The darkest hour of a man's life is when he sits down to plan how to get money without earning it. - Horace Greeley

A restive morsel needs a spur of wine. - Proverb, (french)

Whatever is worth doing at all, is worth doing well. - Lord Chesterfield

The most thoroughly wasted of all days is that on which one has not laughed. - Nicolas Chamfort

A blow with a reed makes a noise but hurts not. - Proverb, (spanish)

Count your blessings. - Proverb, (german)

In the looking-glass we see our form, in wine the heart. - Proverb, (german)

A hug a day keeps the demons at bay. - Proverb, (german)

A man he seems of cheerful yesterdays, And confident to-morrows. - William Wordsworth, The Excursion

Be this our wall of brass, to be conscious of having done no evil, and to grow pale at no accusation. - Proverb

Too late is tomorrow's life; live for today. - Martial

And now am I, if a man should speak truly, little better than one of the wicked. -King Henry IV. Part I. Act i. Sc. 2. - William Shakespeare

On a fool's beard all learn to shave. - Proverb, (portuguese, Spanish)

Every Communist must grasp the truth: "Political power grows out of the barrel of a gun.". - Mao Tse-tung

We cannot really love anybody with whom we never laugh. - Mary Roberts Rhinehart

The lazy man who goes to borrow a spade says, "I hope I will not find one." - Proverb, (madagasy)

Better one living word than a hundred dead ones. - Proverb, (german)



Tiada jalan lain untuk mengenali Tuhan selain dari mengenal diri sendiri terlebih dahulu. - Sri Sathya Sai Baba

Tahun menjadi baru, hari menjadi suci, yaitu ketika engkau mensucikannya dengan melalui disiplin spiritual dan bukan yang lainnya. - Sri Sathya Sai Baba

Hanya ada satu teman sejati yang senantiasa bersamamu, di dalam dirimu dan di sekitarmu. Dan Dia adalah Tuhan. - Sri Sathya Sai Baba

Semua kehidupan adalah sama adanya, oleh sebab itu, wahai Anak-Ku, perlakukanlah setiap orang secara sama rata. - Sri Sathya Sai Baba

Di dunia ini tidak ada obat yang bisa menyembuhkan rasa sakit yang ditimbulkan oleh ucapan-ucapan yang kasar. - Sri Sathya Sai Baba

Uang datang dan pergi; tetapi apabila engkau memupuk moralitas, maka nilai-nilai tersebut akan tetap tertanam di dalam dirimu. - Sri Sathya Sai Baba

Apabila engkau menerima umpatan/kata-kata yang kasar dari orang lain, maka janganlah engkau berperilaku yang sama terhadap orang tersebut; melainkan berbicaralah secara lembut dan penuh cinta-kasih. - Sri Sathya Sai Baba

Engkau tidak perlu mencari-cari ketenaran maupun penghormatan dari orang lain; yang jauh lebih penting adalah lakukanlah upaya untuk memenangkan rahmat dari Tuhan. - Sri Sathya Sai Baba

Engkau mungkin saja merasa jenuh bila terus-menerus meminum nectar; tetapi tidaklah demikian halnya bila menyangkut cinta-kasih. - Sri Sathya Sai Baba

Tuhan akan senantiasa mengamati aktivitas-aktivitas manusia bahkan yang terkecil sekalipun untuk menemukan ada/tidaknya jejak-jejak cinta-kasih. - Sri Sathya Sai Baba

Sekali engkau merasakan kebahagiaan Ilahi, maka batinmu tidak akan pernah lagi mencari-cari kenikmatan duniawi. - Sri Sathya Sai Baba

Sekali engkau menyadari bahwa dirimu adalah satu bersama-sama dengan Tuhan, maka engkau tidak akan pernah terpisah lagi (dari-Nya). - Sri Sathya Sai Baba

Do good, see good, be good - inilah jalan untuk menuju kepada Tuhan. - Sri Sathya Sai Baba

Engkau tidak akan pernah gagal dalam kehidupanmu ini jikalau saja engkau mempunyai cinta-kasih terhadap Tuhan. - Sri Sathya Sai Baba

Badan fisik ini akan tampil menawan jikalau karakter kita bagus; pelayanan kepada sesama serta ibadah kepada Tuhan akan memelihara pesonanya. - Sri Sathya Sai Baba

Engkau akan dapat memurnikan tutur-katamu dengan mengucapkan kebenaran, mengikuti ajaran Dharma serta memupuk cinta-kasih dan kedamaian. - Sri Sathya Sai Baba

Apabila engkau memahami bahwa Aham (I/aku), mind dan ucapanmu adalah merupakan bagian dari Divine family dan engkau juga bertindak sebagamana mestinya, maka dengan demikian, kehidupanmu akan disucikan. - Sri Sathya Sai Baba

Batin yang tenteram akan menghasilkan badan yang sehat; sebaliknya badan yang sehat juga akan menghasilkan batin yang damai. - Sri Sathya Sai Baba

Oleh karena manusia telah melupakan hubungannya dengan Tuhan, maka itulah sebabnya mengapa ia dihantui oleh ketakutan dan terjerat dalam kegelisahan berkepanjangan. - Sri Sathya Sai Baba

Cinta-kasih senantiasa memberi dan memaafkan. Sedangkan diri (ego) senantiasa menerima dan melupakan (jasa baik orang lain). - Sri Sathya Sai Baba

MENGUAK MISTERI GAYATRI MANTRA MELALUI MEDITASI

ILoveBlue.com | Media Anak Muda Bali > Artikel Bali
Posted by Mahendra

Om bhur bhuvah svah,
tat savitur varenyam,
bhargo devasya dhimahi,
dhiyo yo nah pracodayat.

artinya:
O cahaya bersinar yang telah melahirkan semua loka atau dunia kesadaran, O Tuhan yang muncul melalui sinarnya matahari sinarilah budi kami.


Inilah makna dari mantra yang memiliki semua bija-mantra yang kesemuanya melambangkan dari kekuasaan Brahman dalam cahaya suciNya. Om melambangkan Tuhan, Bhur mewakili bumi, Bhuvah melingkupi semua bagian dari daerahnya dewata-dewata dan setengah dewata sampai kepada matahari. Sedangkan Svah mewakili dimensi alam ketiga yang diketahui dengan nama svargaloka dan semua loka-loka yang cemerlang dia atasnya.

Gayatri mantra ini mempunyai getaran sangat kuat sehingga seseorang dalam pencaran rohaninya apabila tulus mengucapkan Gayatri mantra ini akan membawa
kepada pencerahan bathin. Banyak buku yang mengulas bagaimana kehebatan dari Gayatri mantram tersebut, namun tidak ada guru yang bisa memberikan pelajaran secara sistematis sehingga tidak ada pegangan yang kuat bagi murid-murid untuk mencapai kesadaran yang lebih tinggi.

Gayatri mantram pada dasarnya bekerja secara otomatis dalam kesadaran rohani manusia. Ini di sebabkan mantram tersebut mewakili dari setiap elemen dasar
manusia dan alam.

Manusia memiliki tiga bagian badan yaitu badan fisik, badan energy (aura atau cahaya) dan badan roh (atma) ketiga bagian badan ini saling terkait satu sama
lainnya. Badan fisik berhubungan dengan napas dan prana, dan badan roh berhubungan dengan kesadaran Brahman.

Dijaman yang serba tidak pasti ini, banyak sekali bermunculan suatu masalah dalam kehidupan seperti contoh agama, ekonomi, sosial dan lain-lain dan yang
lebih parah lagi adalah banyaknya kasus penyakit. Tidak bisa disangkal lagi bahwa jaman ini materi menjadi tujuan yang paling utama, karena materi bagi seseorang menjajanjikan sebuah kebahagiaan.

Karena pencitraan yang sangat kuat ini, banyak orang pada jaman sekarang melakukan perbuatan yang berorientasi pada harta, segala cara pun dilakukan
asalkan terpenuhi nafsunya serta ambisinya. Tidak di dunia ekonomi saja terjadi seperti itu, di dunia energy pun banyak orang menggunakan kekuatan mistik
hitam untuk mencelakai secara halus, ini terlepas dari percaya atau tidak dengan hal ilmu hitam. Banyak bermunculan duku-dukun serta paranormal yang
menjajanjikan serta menjual berbagai macam kebolehan serta asesories untuk kedigjayaan atau kesaktian. Apabila tidak kuat iman, bisa dipastikan jaman
sekarang akan menjadi budak dari sekian pencitraan yang mencekam dalam kehidupan ini.

Lalu haruskah kita lari dari kehidupan ini dan mengasingkan diri untuk pergi ke hutan atau gua dan apakah kita mengambil jalan singkat bunuh diri?
Kedua-duanya adalah jalan yang konyol, kita harus menghadapi gelombang badai tersebut, namun dengan cara yang sangat halus serta bijak.

Apa yang disebut dengan suara karena kita mempunyai otak serta indra mata. Anadaikan saja seseorang buta dan tuli sejak lahir pasti baginya dunia ini tidak
ada, inilah yang disebut dengan ikatan indra dengan alam sementa. Untuk bisa terhindar dari masalah tersebut, tidada jalan lain kecuali mencari masalah
itu jauh ke dalam hati dan pikiran sebab di sanalah kemelut itu bercokol.

MEDITASI DENGAN GAYATRI MANTRA

Sudah dikatakan Gayatri mantram mempunyai vibrasi sangat kuat terhadap otak dan batin asalkan tahu bagaimana cara menggunakan mantra tersebut. Meditasi
pada hakekatnya berhubungan dengan pikiran, kesadaran, serta spirit dan sangat dibutuhkan guru yang khusus. Apabila anda ingin menjadikan Gayatri Mantra sebagai bagian dari meditasi anda harus melakukan puasa putih(tanpa garam, dan tidak minum susu) selama dua hari untuk memohon berkat kepada Maha Dewi.

Lakukan puasa mulai hari Rabu (pagi) sampai Jumat (pagi) hanya makan nasi putih dan air putih saja dan lakukan puja Gayatri setiap pagi menghadap matahari
terbit, siang hari, dan malam hari. Dalam mengucapkan Gayatri mantra enam kali untuk pagi hari, empat kali untuk siang hari, dan dua puluh sembilan kali untuk
malam hari. Lakukan puasa dan puja Gayatri dengan ketulusan hati jangan memohon suatu daya-daya sakti tertentu sebab belum tentu keinginan anda akan
terpenuhi. Setelah melakukan puasa dan puja gayatri selama dua hari barulah anda di perkenankan untuk melakukan meditasi ternadap Gayatri mantra sebab api spirit anda sudah menyala.

Tambahan:
Dalam penjelasannya puasa putih ini dapat dilakukan sehari saja tapi harus pada hari kelahirannya. Misalnya lahir hari Senen, maka puasa dilakukan pada Senen pagi hingga Selasa pagi.

TEORI MEDITASI

Sebelum meditasi cucilah muka, tangan, serta kaki, atau anda mandi untuk membersihkan badan dari kotoran sekaligus membuat badan menjadi segar. Duduklah dengan memakai alas dari kain, tikar, atau selimut, posisi punggung tegak lurus dan tangan diletakkan dipangkuan dalam posisi relek. Pejamkan mata, serta tenangkan pikiran berberapa detik, setelah itu ucapkan mantra "

OM Bhur, OM Bhuvah, OM Svah"

ucapkan dengan suara lambat serta santai jangan tergesa-gesa sebanyak lima
kali, ini bertujuan untuk membersihkan lapisan pikiran.

Pada saat mengucapkan mantra ini arahkan pikiran pada mantra dan suara bukan pada bayangan pikiran. Setelah baca mantra selesai tutuplah mulut serta tenangkan pikiran lalu ucapkan Gayatri mantram

" OM Bhur, Bhuvah, Svah, tat savitur varenyam, bhargo devasya
dimahi, dhiyo yo nah pracodayat"

dengan lambat dan tenang di dalam hati. Arahkan pikiran serta getaran suara mantra pada jantung, anda cukup meniatkan saja bukan membayangkan.

Meditasi dengan Gayatri mantram sangat efektif untuk berbagai macam keperluan seperti melindungi diri dari energy negatif, kecantikan, kekuatan batin, kecerdasan
dan lain-lain. Kekuatan Gayatri mantra tidak bisa berfungsi apabila disertai niat kurang baik. Meditasi Gayatri mantra apabila dilakukan dengan baik serta
tulus akan banyak muncul keajaiban-keajaiban yang tidak bisa kita sangka. Gayatri mantra bukan bekerja pada maksud si meditator namun, karunia, energy,
rahmat, dari Maha Devi Gayatri yang berhak menentukan. Bagaikan mobil, sang supirlah yang tahu kemana tujuan dari mobil itu, bukan tujuan dari mobil tersebut yang dituruti sang supir.

Energy Gayatri masuk dari ubun-ubun melalui tulang belakang serta menyebar keseluruh tubuh fisik, tubuh energy, dan atma. Banyak guru-guru suci yang tercerahkan mengatakan "pencerahan akan kalian dapatkan pada Gayatri mantra. Pada jaman kali yuga ini tiada yang mampu melepaskan lapisan kekotoran pikiran
selain getaran halus dari Gayatri mantra.

TIPS

Apa bila anda merasa ada sakit yang disebabkan oleh ulah niat jahat seseorang, dan kalau percaya dengan hal ini anda bisa menggunakan cara berikut ini. Sediakan air bersih , higienis, untuk diminum, lalu jemurlah air tersebut pada cahaya matahari serta cahaya bulan di malam hari. Setelah air tersebut dijemur oleh kedua unsur cahaya tersebut berdoalah pada Tuhan sambil membaca Gayatri mantram 11 kali, setiap habis membaca gayatri mantram tiupkan nafas anda pada air tersebut. Air tersebut bisa diminum atau dipakai campuran obat, mandi dan lain-lainnya. Dengan kekuatan ini segala macam bentuk energy jahat dari seseorang akan hancur oleh kekuatan dari mantra tersebut, hal ini sering terbutkti di daerah-daaerah terpencil. Ada banyak lagi cara-cara yang bisa dijadikan renungan, betapa Gayatri mantra mempu untuk menghadapi dilema dalam hidup ini.

Jumat, 27 November 2009

Manusia adalah Makhluk Berpikir

Manusia adalah makhluk berpikir (homo sapiens). Alam pikiran manuisa terdiri dari empat lapis, yaitu: ahamkara (ego atau keakuan), manah (naluri pikiran), buddhi (akal budi pikiran), dan chitta (kesadaran pikiran). Kemampuan pikiran manusia lebih sempurna daripada makhluk hidup lainnya, yang mengangkat martabatnya sebagai makhluk Tuhan yang paling mulia di dunia ini. Bersyukurlah telah terlahirkan menjadi manusia.

Dalam Sarasamuccaya disampaikan, bahwa di antara semua makhluk hidup, hanya yang dilahirkan menjadi manusia sajalah perbuatannya digolongkan ke dalam perbuatan baik atau buruk. Leburlah segala perbuatan buruk itu ke dalam perbuatan baik, karena dengan demikian kita menjadi manusia yang berguna. Oleh karena itu, janganlah sekali-kali bersedih hati, sekalipun hidupmu tidak bergelimang harta. Dilahirkan menjadi manusia hendaklah disyukuri, hendaklah menjadikanmu berbesar hati. Sebab amat sukar untuk dapat dilahirkan menjadi manusia, meskipun kelahiran dengan martabat yang paling rendah secara duniawi sekalipun. Menjelma menjadi manusia itu adalah sungguh-sungguh utama. Sebab, dengan kelengkapan yang dianugerahkan kepadanya, jika digunakan dengan baik dan benar, ia akan dapat menolong dirinya dari samsara, dengan jalan berbuat baik tanpa pamrih. Demikianlah keuntungannya dapat menjelma menjadi manusia. Jika ada orang tidak mau melakukan perbuatan baik, orang semacam itu dianggap sebagai penyakit yang menjadi obat nerakaloka, bagaikan orang sakit yang pergi ke suatu tempat di mana tidak ada obat-obatan. Kenyataannya, ia selalu tidak memperoleh ketenangan dalam segala perbuatannya. Kesimpulannya, pergunakanlah dengan sebaik-baiknya kesempatan menjelma menjadi manusia ini, kesempatan yang sungguh sulit diperoleh, yang merupakan tangga menuju kesempurnaan. Segala sesuatu yang menyebabkan agar tidak jatuh lagi hendaknya dilakukan.

Binatang bekerja dan berbuat menurut naluri pikirannya, bila ia lapar ia mencari makanan. Bila ia birahi ia mencari pasangan untuk menyalurkan birahinya. Bila ia jatuh sakit, ia tetap memakan makanan seperti kemarin-kemarin, yang mungkin menyebabkan sakitnya bertambah parah dan mestinya dihindari, dan mencari makanan yang sekiranya bisa menjadi obat untuk kesembuhan penyakitnya. Tapi itu tidak dilakukannya, ia hanya menunggu kesembuhannya dari alam. Berbeda dengan manusia yang mempunyai tingkat kesadaran pikiran yang lebih tinggi, dengan buddhi ia dapat memikirkan dan mengusahakan dirinya menjadi lebih baik dan mempertahankan hidupnya. Dengan akal budi pikiran manusia dapat menjadikan benda-benda di sekelilingnya menjadi benda-benda yang berguna untuk hidupnya. Manusia mengubah bentuk pemberian alam sesuai dengan kebutuhan hidupnya, dari generasi ke generasi pikiran manusia terus berkembang. Perkembangan pikiran manusia telah menghasilkan ciptaan-ciptaan di berbagai bidang kehidupan. Ilmu pengetahuan dan kebudayaan yang dimilikipun terus berkembang dari jaman ke jaman.

Budaya adalah salah satu hal yang tampak jelas perbedaan yang dimiliki oleh manusia, tetapi tidak dimiliki oleh binatang dan tumbuh-tumbuhan. Kebudayaan itu hanya mungkin ada karena manusia itu dapat menggunakan akal budi pikirannya. Demikianlah manusia berbeda dengan makhluk lain karena tingkat kesadaran pikiran yang dimilikinya. Manusia adalah homo sapiens, makhluk berpikir. Dengan tingkat kesadaran pikiran yang dimiliki itu manusia dapat memiliki pengetahuan yang tinggi. Dan pengetahuannya itu dapat lebih mudah diwariskan kepada anak cucu keturunannya berkat ditemukannya sistem tulis-menulis berupa huruf. Maka dengan demikian pengetahuan manusia terus bertambah dari generasi ke generasi, karena pengetahuan itu dapat tersimpan rapi dalam bentuk tulisan dengan huruf-huruf itu. Berbagai ilmu pun dikembangkan dari pengetahuan-pengetahuan tersebut. Tinggal manusianya itu sendiri, apakah ilmu-ilmu yang berkembang itu digunakan untuk memenuhi kebutuhan atau sekedar untuk memenuhi keinginannya, yang mana keinginan-keinginan yang tidak terkendali malah dapat menyebabkan kerugian bagi manusia itu sendiri, sehingga apa yang menjadi kebutuhan hidupnya yang utama terlalaikan, akhirnya, di tengah-tengah perkembangan ilmu pengetahuan yang semakin canggih, manusia tergilas oleh ciptaannya sendiri. Tapi, karena pada dasarnya manusia adalah makhluk berpikir, maka ia akan berpikir dan berpikir lagi, apa yang terbaik bagi kesempurnaan hidupnya.

Manusia Sebagai Makhluk Individu dan Makhluk Sosial

Manusia adalah makhluk individu dan juga makhluk sosial. Sebagai individu, ia mempunyai kemauan dan kehendak yang mendorongnya berbuat dan bertindak. Dari apa yang diperbuatnya dan dari sikap hidupnya, orang dapat mengetahui pribadi seseorang. Sebagai makhluk idividu, manusia ingin hidup senang dan bahagia, dan menghindar dari segala yang menyusahkan. Untuk itu ia berusaha memenuhi kebutuhan hidupnya, baik kebutuhan jasmani maupun kebutuhan rohani yang dapat membawa kesenangan dan kebahagiaan kepada dirinya.

Akibat dari hal itu, timbullah hak seseorang atas sesuatu, seperti hak milik atas sesuatu benda, hak menuntut ilmu, hak menikmati kesenangan dan lain-lainnya. Hak itu tidak boleh diganggu oleh orang lain. Akibatnya, orangpun merasa bahwa dialah yang berkuasa atas haknya itu dan menyadari pula bahwa ia mempunyai rasa aku. Kesadaran ini mendorongnya untuk bertindak sendiri, terlepas dari pengaruh orang lain. Hidup sebagai makhluk individu semata-mata tidak mungkin tanpa juga sebagai makhluk sosial. Manusia hanya dapat dengan sebaik-baiknya dan manusia hanya akan mempunyai arti apabila ia hidup bersama-sama manusia lainnya di dalam masyarakat. Tidak dapat dibayangkan adanya manusia yang hidup menyendiri tanpa berhubungan dan tanpa bergaul dengan sesama manusia lainnya. Hanya dalam hidup bersama manusia dapat berkembang dengan wajar dan sempurna. Hal ini ternyata bahwa sejak lahir sampai meninggal, manusia memerlukan bantuan orang lain untuk kesempurnaan hidupnya. Bantuan ini tidak hanya bantuan untuk memenuhi kebutuhan jasmani, tetapi juga untuk kebutuhan rohani. Manusia sangat memerlukan pengertian, kasih sayang, harga diri, pengakuan dan tanggapan-tanggapan emosional yang sangat penting artinya bagi pergaulan dan kelangsungan hidup yang sehat. Inilah kodrat manusia, sebagai makhluk individu dan juga sebagai makhluk sosial. Tak ada seorangpun yang dapat mengingkari hal ini, karena ternyata bahwa manusia baru dapat disebut manusia dalam hubungannya dengan orang lain, bukan dalam kesendiriannya.

Sumber: TATTWA DARSANA Untuk Kelas I PGA Hindu. Oleh: IB Kade Sindhu, IB Gede Agastia, I Gede Sura. Penerbit: Yayasan Dharma Sarathi Jakarta, 1990.

Pengalaman adalah sumber pengetahuan

Dari pengalaman manusia mendapatkan pengetahuan, dari pengetahuan manusia mengembangkan ilmu pengetahuan.

Manusia adalah makhluk yang suka bertanya, karena didorong oleh rasa ingin tahunya. Apa saja yang dilihat, didengar, dialami, manusia ingin mendapat keterangan tentang itu. Setelah mendapat keterangan, ia merasa puas. Hal ini trjadi karena manusia mempunyai kemampuan untuk mengerti. Setiap orang mengerti akan apa yang diketahuinya, dan mengerti pula bahwa ia tidak tahu yang tidak diketahuinya. Segala apa yang diketahui orang disebut pengetahuan.

Pengetahuan dapat dimiliki orang dengan beberapa cara. Ada pengetahuan yang didapat dengan mendengarkan cerita-cerita orang lain, yang mungkin orang itupun mendapatkannya dari orang lain pula. Pengetahuan yang kebanyakan tidak dapat dipercaya kebenarannya karena seringkali tanpa bukti-bukti yang nyata. Banyak pula pengetahuan itu didapat orang karena pengalaman. Pengetahuan didapatkan dari pengalaman-pengalaman sendiri atau orang lain. Pengetahuan yang didapat dari pengalaman sendiri memang berdasarkan kepada kenyataan yang pasti, namun kebenarannya bergantung kepada benar atau kelirunya penglihatan kita. Orang yang mengetahui sesuatu atas dasar pengalaman menjadikan pengalamannya itu sebagai pedoman. Orang yang biasa memikirkan sesuatu yang dilihatnya, tidak puas dengan kenyataan itu saja. Ia ingin mendapatkan keterangan tentang bagaimana dan mengapa bisa demikian. Orang terpelajar yang berpikir teratur akan menerangkan bagaimana dan mengapa bisa demikian.

Dari orang-orang terpelajar, seseorang mendapatkan pengetahuan berdasarkan keterangan yang logis, berdasarkan hubungan sebab akibat. Orang akan mengusahakan agar pengetahuannya itu sesuai dengan hal yang diketahuinya. Dengan demikian pengetahuan itu bertujuan untuk mendapatkan kebenaran. Untuk mencapai tujuan itu orang memakai metode dan sistem tertentu. Pengetahuan yang menuntut kebenaran dengan dasar yang bermetode dan bersistem disebut ilmu. Di dalam ilmu terdapat susunan pengertian yang teratur. Sebenarnya susunan pengertian yang teratur itu sudah dimiliki orang sejak jaman dahulu. Buktinya, nenek moyang kita telah menggolong-golongkan benda-benda dan masalah-masalah yang dijumpai dalam hidupnya. Benda-benda dan masalah-masalah itu diberi nama untuk membedakan satu dengan yang lain. Dengan demikian orang mempunyai susunan pengertian yang teratur akan sesuatu dengan menggolong-golongkan atau mengelompokannya. Misalnya, orang mempunyai pengertian tentang benda mati dan makhluk hidup, mengelompokkan makhluk hidup menjadi manusia, binatang dan tumbuhan. Mempunyai pengertian tumbuh-tumbuhan mana yang termasuk bangsa rumput, palma dan lain-lain, binatang yang mana termasuk binatang yang hidup di darat dan yang hidup di air.

Ilmu memandang secara terpilah-pilah terhadap benda-benda dan masalah-masalah yang menjadi obyeknya. Dengan cara itu orang akan lebih mudah mendapatkan pengertian yang teratur tentang sesuatu dari suatu segi pandangan tertentu. Misalnya manusia itu dapat ditinjau dari banyak segi segi ilmu, walaupun obyeknya itu-itu juga. Bila ditinjau dari kerja alat-alat tubuhnya, maka bidang itu adalah bidang biologi. Bila orang mempelajari manusia dari caranya hidup dan bergaul dalam hubungannya dengan kelompok lain, itu adalah bidang sosiologi. Sikap hatinya, perubahan-perubahan jiwanya menjadi studi phsikologi. Dari contoh di atas, ternyata ada dua atau tiga ilmu yang berobyek satu. Adanya dua atau tiga ilmu itu karena adanya dua atau tiga sudut pandang yang berbeda. Lain sudut pandangnya lain pula jenis ilmunya. Jadi, yang menentukan macam ilmu itu bukan bahan atau bidang penyelidikannya, tetapi sudut pandangnya. Lapangan atau bahan penyelidikan suatu ilmu disebut obyek material, sedangkan sudut tertentu yang menentukan macam ilmu itu disebut obyek forma. Makin lama makin bertambah pula jenis ilmu itu. Masing-masing ilmu disusun dengan teratur dan hanya berkisar di dalam ruang lingkupnya saja. Masalah-masalah yang bukan menjadi ruang lingkupnya diserahkan kepada ilmu yang lain. Misalnya tentang peraturan-peraturan yang mengatur orang dalam hubungannya dengan orang lain tidak akan dibicarakan dalam biologi, karena hal itu bukan menjadi ruang lingkupnya. Demikianlah ilmu juga memakai disiplin, sehingga dikenal dengan adanya disiplin ilmu. Jaman dahulu jenis ilmu yang dikenal orang hanya sedikit, tetapi jaman sekarang jumlahnya sangat banyak dan terus bertambah. Beberapa jenis ilmu itu seperti: Ilmu Bahasa, Ilmu Hayat, Ilmu Matematika, Ilmu Fisika, Ilmu Kimia, Ilmu Sejarah, Ilmu Bumi, Ilmu Hukum, Ilmu Politik, Sosiologi, anthropologi, Ilmu Ekonomi, dan lain-lain. Masing-masing ilmu memiliki bagian-bagian ilmunya lagi. Semoga masing-masing disiplin ilmu yang dimiliki dapat diabdikan untuk kedamaian, sebagai wujud bhakti kepada Tuhan. Apalah artinya ilmu yang tinggi jika itu tidak menuntunnya pada pemujaan kepada Tuhan sebagai sumber dari segala sumber ilmu itu sendiri.

Tidak Ada Paksaan Dalam Hindu

Sabtu, 21 November 2009

Bandung, (tvOne)

Persoalan yang membelit Hindu Kaharingan dianggap sudah selesai, karena ternyata setelah dilakukan pengecekan di lapangan tak ada niatan keluar dari bimbingan Ditjen Bimas Hindu, Departemen Agama. Direktur Urusan Agama Hindu, I Ketut Lancar dalam acara sosialisasi program 100 hari Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) ke-II menjelaskan bahwa suara "miring" seperti itu tak ada lagi di Bandung, Sabtu (21/11).

Menjawab pertanyaan apakah Hindu Kaharingan mau melepaskan diri dan berdiri sendiri, ia mengatakan, hal itu tak ada. I Ketut Lancar menjelaskan, para tokoh Hindu Kaharingan tak mau berpisah. Mereka mau berintegrasi sejak tahun 1980-an di dalam Ditjen Bimas Hindu.

Jadi, kalau mau pisah atau keluar, pihaknya tak bisa memaksa. Sebab, jika orang mau menjalankan ibadah dihalangi maka hal itu melanggar hak azasi seseorang. "Yang menghembuskan ingin pisah, itu datangnya hanya dari segelintir orang," kata Lancar.

Sebelumnya Dirjen Bimas Hindu, Prof. Dr. IBG Yudha Triguna MS menegaskan, di wilayah Indonesia tak dikenal adanya agama Hindu Bali, Hindu Jawa atau Hindu Kaharingan, karena yang ada hanya satu agama Hindu. Ia mengatakan, Hindu yang dianut suku Bali, Bugis, Jawa dan Kaharingan memang ada di Indonesia, tetapi bukan Hindu Kaharingan atau Hindu lain berdasarkan etnis tertentu. Jadi, bukan karena ada etnis setempat lantas dikenal adanya Hindu Jawa dan seterusnya.

Ia mengakui belakangan ini ada kecenderungan kelompok tertentu memaksakan kehendak sendiri untuk memasukkan agama Hindu sesuai dengan nama etnis tertentu. Mereka ingin memecah umat Hindu berdasarkan etnis dimana Hindu dianut di wilayah daerah tertentu.

Menurut Tri, tradisi ritual agama Hindu boleh ikut tradisi setempat. Sebab, Hindu punya prinsip Desa Kala Patra (tempat, waktu dan keadaan). Namun jika ada etnis tertentu ingin adanya agama Hindu Kaharingan ataupun Hindu lainnya, tentu hal itu menyalahi ketentuan. "Itu di luar kewenangan Ditjen Bimas Hindu," katanya sambil menambahkan bahwa hal itu tak ada di nomenklatur.

Ia menjelaskan, adanya otonomi daerah telah dimanfaatkan kelompok tertentu untuk menyebut bahwa agama Hindu lebih dari satu, ada Hindu Bali, Hindu Kaharingan dan Hindu Jawa yang sesungguhnya telah menyalahi ketentuan.

Karena itu, ia berharap adanya pandangan Hindu lebih dari satu hendaknya dijauhi. Hal ini terjadi disebabkan kurangnya sosialisasi bersamaan dengan munculnya semangat otonomi daerah. Penonjolan semangat daerah berlebihan.

Ditjen Bimas Hindu punya kewajiban membina umat Hindu, apa pun etnisnya. Namun Bimas Hindu tak punya kewajiban membina etnis tertentu jika dia bukan umat Hindu. Terkait persoalan sekolah tinggi tinggi Hindu di Palangkaraya, ia pun menjelaskan bahwa kini kondisi di kampus itu kondusif. "Saya baru berkunjung kesana, belum lama ini," jelas Lancar.

Persoalan belum adanya rektor difinitif, juga akan segera diselesaikan. "Sekarang usulan rektor baru sudah diproses dan ada di tangan Menteri Agama," katanya. (Ant)

Jangan Paksa Mereka Pilih Agama

Selasa, 23 Desember 2008 | 16:09 WIB

Selain tak mencantumkan agama atau dituliskan beragama "lainnya" di KTP, sebagian masyarakat adat juga mengaku mengalami hambatan dalam mendapatkan akses fasilitas publik. Sesepuh masyarakat adat Merapu, Sumba Barat, NTT, Elmawo Mudde (70-an tahun) menceritakan, anak-anaknya sempat mengalami kesulitan saat akan masuk ke sekolah.

Persyaratan memasuki pendidikan formal, menyertakan akte kelahiran dan surat baptis (bagi yang beragama Nasrani). "Anak-anak tidak punya pilihan, karena harus sekolah. Jadi tipu diri, dipaksa pilih agama supaya bisa sekolah. Sama juga kalau mau jadi PNS (pegawai negeri sipil)," kata Elma, yang biasa disapa Mama, yang dijumpai saat menghadiri Seren Taun 2008 di Cigugur, Kuningan, Jawa Barat.

Steering Committee Aliansi Nasional Bhineka Tunggal Ika (ANBTI) Emmy Sahertian mengatakan, selain kesulitan saat akan mengurus KTP, sejumlah masyarakat adat juga memilih untuk membuat akte kelahiran di luar nikah bagi anaknya. Sebab, pernikahan yang dilakukan secara adat menurut kepercayaan yang mereka anut, tak dicatatkan secara legal di catatan sipil.

"Hak hidup itu kan sebenarnya melekat pada hak asasi. Misalnya hak menikah. Tapi gara-gara administrasi kependudukan, pernikahannya tidak diakui. Anak-anaknya kemudian ikut terdampak pada akte kelahirannya karena orangtuanya tidak punya akte kawin," ujar Emmy.

Pemerintah, menurut Emmy, selama ini hanya memahami budaya terbatas pada seni, artefak dan lokasinya. Padahal, di tengah masyarakat adat sendiri masih melekat agama dan kepercayaan lokal yang dianut masyarakat setempat. "Pemerintah tidak melihat bahwa manusia dan kepercayaan juga merupakan satu kesatuan dari budaya yang tidak bisa diabaikan. Bagaimanapun, budaya tidak bisa terlepas dari spiritualitas budaya. Selama ini, eksotisme budaya diekspos tapi spiritualitas budaya diabaikan. Masih banyak masyarakat adat kita yang hidup dengan identitas yang sangat kuat, dengan kepercayaan agama lokal mereka," papar Emmy.

Kepercayaan masyarakat adat, selama ini hanya tercatat di Departemen Kebudayaan dan Pariwisata. Hal inilah yang kemudian membuat dikotomi antara agama resmi yang tercatat di Departemen Agama, dengan agama lokal yang dianut masyarakat adat.

Apa harapan mereka?

Meski terbilang sebagai kaum minoritas, masyarakat adat hidup berdampingan secara damai dengan masyarakat di mana mereka tinggal. Perbedaan keyakinan, selama ini tak menimbulkan hambatan dalam bersosialisasi.

Salah satu anggota Komunitas Masyarakat Adat Dayak Hindu Budha Bumi Segandu Indramayu (Dayak Losarang), Dedi mengisahkan, masyarakat Losarang yang merupakan basis komunitasnya menerima mereka dengan baik.

"Masyarakat sudah menerima kami dengan baik, dan sosialisasinya tidak ada masalah. Kami saling memberi, saling membantu. Hanya pemerintah saja yang tidak memberikan keadilan bagi kami. Kami tidak bicara kebenaran, karena kebenaran itu milik Tuhan," kata Dedi.

Hal serupa juga diungkapkan Mama. Di Sumba Barat, yang 60 persen masyarakatnya penganut Merapu, hidup berdampingan secara damai dengan masyarakat setempat yang beragama lain. "Enam agama bukan berarti ada 6 Tuhan, Tuhan tetap satu. Hanya cara kita menyembah berbeda. Warna kulit boleh beda, tapi kita semua satu, orang Indonesia. Kalau pemerintah menerima (penganut kepercayaan), terima kasih. Harapan saya, kami tidak perlu diakui, tapi jangan paksa pilih agama. Kalau bisa, tidak perlu ada kolom agama di KTP, sehingga tidak hambat kami," ujar Mama.

"Kami orang Indonesia, hanya mengharapkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia, seperti dijanjikan dalam Pancasila," kata Dedi.


Inggried Dwi Wedhaswary

Sabtu, 31 Oktober 2009

Berpasrah Diri Tidak Berarti Bermalas-malasan

Bagi umat yang ada di jenjang hidup Grhasta Asrama, Karma Yoga lebih mendominasi. Kerja keras dan tidak malas merupakan kewajiban dan kebajikan yang patut dilakukan. Tuhan hanya menyayangi mereka yang suka bekerja keras dan memiliki ketekunan, bukan mereka yang malas, dan bukan mereka yang menyepelekan segala sesuatu. Orang yang suka bekerja keras dan memiliki ketekunan akan mencapai keberhasilan. Hal ini sangat relevan dengan perkembangan dunia modern.

Siapa saja yang tekun bekerja, tekun belajar, berdisiplin dan memiliki kualitas SRADDHA yang mantap akan sukses dalam berbagai aspek kehidupan. Demikian pula orang yang tidak mengenal lelah, tidak cepat putus asa akan memperoleh kecukupan lahir dan batin. Tuhan selalu menolong orang yang suka bekerja keras.

KURVAM EVEHA KARMANI JIJIVISET SATAM SAMAH. EVAM TVAYI NANYATHETO-ASTI NA KARMA LIPYATE NARE (Yajurveda XI.2) ... Orang seharusnya suka hidup di dunia ini dengan melakukan kerja keras selama seratus tahun. Tidak ada cara yang lain bagi keselamatan seseorang. Suatu tindakan yang tidak mementingkan diri sendiri dan tidak memihak, menjauhkan pelaku dari keterikatan.

ICCHANTI DEVAH SUNVANTAM NA SVAPNAYA SPRHAYANTI. YANTI PRAMADAM ATANDRAH (Atharvaveda XX.18.3) ... Para Dewa menyukai orang-orang yang bekerja keras. Para Dewa tidak menyukai orang-orang yang bermalas-malasan. Orang-orang yang selalu waspada mencapai kebahagiaan yang agung.

ASMANVATI RIYATE SAM RABHADHVAM UTTISHATA PRA TARATA SAKHAYAH. ATRA JAHAMA YE ASAN ASEVAH SIVAN VAYAM UTTAREMABHI VAJAN (Rgveda X.53.8) ... Ya para sahabat, dunia yang penuh dosa dan kesedihan sedang lewat bagaikan sebuah sungai, alirannya yang dihalangi oleh batu-batu besar yang berat. Tekunlah, bangkit dan seberangilah, tinggalkanlah pengikut yang tak berbudi. Seberangilah sungai kehidupan ini utk pencapaian kesejahteraan dan kemakmuran.

MA SREDHATA SOMINO DAKSATA MAHE KRNUDHVAM RAYA ATUJE. TARANIR IJ JAYATI KSETI PUSYATI NA DEVASAH KAVATNAVE (Rgveda VII.32.9) ... Wahai orang-orang yang berpikiran mulia, janganlah tersesat. Tekunlah dan dengan tekad yang keras untuk mencapai tujuan-tujuan yang mulia. Bekerjalah dengan tekun untuk memperoleh kecukupan hidup. Orang yang bersemangat dan tekun akan berhasil, hidup menikmati kemakmuran. Para Dewa tidak pernah menolong orang yang bermalas-malasan.

ATANDRASO AVRKA ASRAMISTHAH (Rgveda IV.4.12) ... Hanya orang-orang yang giat, tulus hati dan tak kenal lelah berhasil dalam kehidupan.

NASUSVER APIR NA SAKHA NA JAMIH (Rgveda IV.25.6) ... Tuhan bukanlah sahabat, kerabat atau sanak saudara dari orang yang malas.

Makna Hari Ulihan

Minggu, 18 Oktober ini bertepatan dengan Tilem Sasih Kapat. Umat Hindu yang masih berada dalam suasana hari raya, pada hari Minggu atau Radite Wage Kuningan menyebutnya sebagai hari Ulihan. Secara umum, umat menghaturkan canang raka di merajan atau di kemulan, mohon keselamatan dan panjang umur.

Di daerah tertentu, hari Ulihan termasuk istimewa. Bagi umat di Desa Pujungan, Kec. Pupuan (Tabanan), umat membuat "intil", yaitu semacam ketupat yang dibungkus dengan daun bambu. Pagi-pagi sekitar pukul 05.00 Wita, intil itu dihaturkan di bale adat atau di tempat tidur (bagi yang tidak punya bale adat). Intil itu ditaruh di atas dulang bersama lauk pauknya. Sesajen itu dihaturkan kehadapan pitara-pitari (dewata-dewati) atau roh leluhur, baik yang belum maupun yang sudah diaben. Pada hari Ulihan, umat Hindu memiliki kepercayaan bahwa roh leluhur pulang dan oleh karenanya dihaturkan sesajen. Pada hari Redite ini, beliau kembali ke alam niskala setelah memberikan berkat kepada turunannya.

Hari Ulihan ini memiliki makna, bahwa umat manusia hendaknya selalu ingat kepada roh leluhur yang telah membuat manusia ini berkembang. (Wayan Supartha).

Umat Hindu Perlu Miliki ‘’Widyalaya’’

Denpasar (Bali Post) - Pendirian widyalaya—SD-SMP dan SMA yang bernuansa Hindu mesti terus diperjuangkan agar Hindu memiliki lembaga pendidikan keagamaan di tingkat dasar dan menengah. Selama ini Hindu baru memiliki lembaga pendidikan tinggi Hindu yang jumlahnya juga masih terbatas. Bahkan, yang berstatus negeri baru hanya beberapa, misalnya di Bali hanya IHDN Denpasar, selebihnya swasta. Kehadiran widyalaya ini penting, agar bisa nyambung dengan lembaga pendidikan Hindu di atasnya. Hal itu dikatakan dosen IHDN Denpasar Dr. I Wayan Suarjaya, M.Si. Minggu (18/10).

Dengan semakin banyak Hindu memiliki lembaga pendidikan keagamaan, diharapkan terjadi peningkatan kualitas SDM Hindu di bidang agama. Di samping lebih terbukanya peluang formasi bagi lulusan lembaga pendidikan tinggi keagamaan Hindu untuk menjalankan swadharmanya di bidang pendidikan, penyuluhan dan sebagainya. Jika lembaga pendidikan keagamaan itu berdiri, tentu kucuran dana dari pusat juga lebih dirasakan oleh umat Hindu dalam rangka pembangunan SDM Hindu. Selain itu, jumlah guru yang diperlukan juga semakin banyak. Selama ini pemberian quota pengangkatan guru Hindu, lebih didasarkan pada jumlah lembaga pendidikan keagamaan. Karena itu wajar, formasi yang diberikan amat minim, termasuk anggaran yang dikucurkan. ‘’Widyalaya itu perlu kita miliki, terlebih payung hukumnya telah ada,’’ kata Suarjaya yang mantan Dirjen Bimas Hindu dan Buddha Depag RI.

’’Jika umat Hindu memiliki banyak lembaga pendidikan bernuansa Hindu, aksesibilitas umat untuk mendalami pendidikan keagamaan akan semakin luas. Di samping lebih tersedianya formasi bagi para lulusan lembaga pendidikan tinggi Hindu untuk menjalankan swadharma sebagai penyayah umat. Ini penting dalam rangka lebih memberdayakan SDM Hindu,’’ ujarnya.

Kakanwil Agama Propinsi Bali IGK Sutha Yasa mengatakan, perjuangan pendirian widyalaya-- SD, SMP dan SMA bernuansa Hindu—tampaknya mengalami kebuntuan karena tidak mendapat payung hukum. Karena itu yang dikembangkan adalah pasraman formal. ‘’Widyalaya yang sejajar dengan madrasah itu tidak mendapat payung hukum. Karena itu yang kita kembangkan adalah pasraman formal, yang pendiriannya telah memiliki payung hukum yakni PP No. 55/2007. Tinggal menunggu Permenag dan dilanjutkan dengan Peraturan Dirjen Bimas Hindu,’’ katanya. Dengan demikian nantinya umat Hindu memiliki Adi Widya Pesraman, Pratama Widya Pasraman, Madyama Widya Pasraman, Utama Widya Pasraman dan Maha Widya Pasraman. (08)

Buku Bhagavad Gita Terbesar Raih MURI

Kamis, 22 Oktober 2009

NUSA DUA, KOMPAS.com--Peluncuran buku Bhagavad Gita terbesar yang diselenggarakan di Nusa Dua, Bali, Rabu, mampu meraih penghargaan dari Museum Rekor Dunia Indonesia (MURI).

Bhagavad Gita terbesar itu adalah kitab suci umat Hindu berbobot mencapai satu ton dengan panjang 1,5 meter kali 1,25 meter dan tebal 459 halaman.

Penggagas pembuatan buku itu adalah Ir I Made Mandra, direktur utama Pengembangan Pariwisata Bali (Bali Tourism Development Corporation/BTDC) dengan Dr I Gusti Ngurah Arya Vedakarna WS, presiden The World Hindu Youth Organisation (WHYO).

Penyerahan sertifikat MURI nomor register 3939 dari Senior Manager MURI Paulus Pangkas dilakukan pada penutupan Nusa Dua Fiesta (NDF) di Nusa Dua, Bali, Rabu malam.

Dirut BTDC I Made Mandra mengatakan pembuatan buku besar Bhagavad Gita ini merupakan wujud terima kasih BTDC kepada masyarakat Bali yang sejak berabad-abad telah memelihara dan mengamalkan nilai-nilai Bhagavad Gita yang sangat indah dan mulia itu di dalam kehidupan sehari-hari.

"Budaya yang religius, ramah, cinta damai yang dijiwai oleh nilai-nilai sastra suci Hindu, merupakan aset yang sangat berharga bagi kepariwisataan Bali," katanya.

Dia berharap keberadaan buku tersebut menarik perhatian generasi muda untuk menikmati keindahannya. Kitab tersebut memuat dialog spiritual antara Sri Krisna dengan kesatria Arjuna di atas kereta berkuda di Kuruksetra atau medan perang Bharata Yudha.

Arjuna adalah simbol Ksatria dengan kecerdasan intelektual dan emosional yang luar biasa, namun di medan perang, di saat-saat mengambil keputusan penting, dia diliputi kebimbangan memerangi musuh-musuhnya, oleh karena musuh tersebut adalah keluarga besar Bharata sendiri.

Dikatakannya, dialog spiritual Sri Kresna-Arjuna ribuan tahun silam tersebut merupakan cahaya suci yang memotivasi umat manusia untuk terus menerus memerangi sifat-sifat buruk dan menegakkan kebenaran, kebijakan dan keharmonisan.

Presiden WHYO Arya Vedakarna mengatakan Bhagavad Gita adalah sebuah sabda dan nyanyian suci Tuhan yang dapat memberikan jawaban dan juga kekuatan terhadap generasi dunia yang kini sedang mengalami krisis multidimensi.

Ia mengatakan peradaban dunia dari hari ke hari semakin jauh dari nilai-nilai kebenaran dan kesucian.

"Menjaga nilai-nilai kesucian menjadi tugas generasi muda Hindu melalui pelestarian, konservasi, pengkajian dan pendalaman isi dan telaah kitab suci Hindu," kata Vedakarna yang juga rektor Universitas Mahendradatta Bali.

Vedakarna menyebutkan buku tersebut adalah kitab revolusioner yang diturunkan oleh Tuhan kepada umat manusia dan menariknya kitab itu tidak dipelajari umat Hindu, tapi oleh mereka dari lintas agama, kepercayaan dan lintas spiritual.

"Dari sinilah bisa melihat bahwa Kitab Bhagavad Gita adalah ’the way of life’ bagi umat," katanya.

Sementara Bendesa Agung Mejelis Utama Desa Pakraman (MUDP) Provinsi Bali Jro Gde Putu Suena menyambut baik peluncuran kitab suci umat Hindu yang merupakan sebuah karya maha agung.

Dia mengatakan kitab suci Bhagavad Gita adalah pancaran sinar suci Tuhan, yang patut dipelajari dan dipahami. "Buku besar ini adalah simbol yang mulia, sehingga wajar dibaca dan dibaca lagi," kata Putu Suena.

Rayakan Hari Kuningan, KBRI Stockholm Jadi Tempat Sembahyang

Laporan dari Stockholm

Eddi Santosa - detikNews


Stockholm - Puluhan warga Indonesia dan Swedia penganut Hindu Bali menyulap KBRI Stockholm menjadi tempat sembahyang untuk merayakan Hari Kuningan. Di Swedia gedung KBRI ini menjadi etalase kerukunan beragama.

Perayaan Hari Kuningan, yakni hari ke-10 puncak rangkaian perayaan Galungan, digelar Sabtu (24/10/2009) lalu. KBRI Stockholm menjadi meriah dengan aneka sesajian dari berbagai jenis buah-buahan, bunga, dan makanan.

"Selanjutnya para penganut agama ini secara khidmat melakukan sembahyang," tutur Sekretaris I Pensosbud KBRI Stockholm Dody Kusumonegoro kepada detikcom petang ini.

Seusai sesi ritual, warga memeriahkan perayaan dengan berbagai hiburan. Mereka menyanyi dan membawakan tari-tarian Bali yang menambah kesemarakan perayaan Galungan dan Kuningan.

Di bawah kepemimpinan Dubes Linggawaty Hakim, KBRI Stockholm memang menjadi rumah nyaman bagi semua pemeluk agama sesuai falsafah Pancasila dan mereka bebas menyelenggarakan perayaan hari-hari besar agama masing-masing.

"Saya senang warga merayakan Idul Fitri, Natal, Galungan-Kuningan, dan lainnya di KBRI. Dan rupanya ini menjadi perhatian menarik di mata masyarakat Swedia," ujar Linggawaty.

Pemeluk Hindu Bali di Indonesia saat ini tercatat ada 1,8% dari total 230 juta penduduk Indonesia yang mayoritas (87%) muslim. Agama hanya satu bagian dari mozaik bangsa Indonesia yang begitu beragam, dengan 300 etnik dan lebih dari 742 bahasa dan dialek

Bhineka Tunggal Ika Karya Gemilang Mpu Tantular

Denpasar (ANTARA News) - Lahirnya semboyan Bhineka Tunggal Ika yang terpampang melengkung pada sehelai "pita" yang dicengkram kedua kaki burung garuda lambang negara RI, terinspirasi dari buku Sutasoma karya gemilang Mpu Tantular.

"Wawasan pemikiran pujangga besar yang hidup di jaman kejayaan Kerajaan Majapahit itu, terbukti telah melompat jauh ke depan. Nyatanya, semboyan itu hingga sekarang masih relevan terhadap perkembangan bangsa, negara dan bahkan kemajuan iptek yang pesat di era global," kata Ketua Sekolah Tinggi Agama Budha Syailendra Salatiga, Jawa Tengah, Hastho Bramantyo MA di Denpasar, Selasa.

Ketika tampil sebagai pembicara pada seminar nasional "Sutasoma Lintas-agama dan Landasan Teologi Kerukunan", ia mengatakan, sebanyak 17 huruf dalam tiga kata Bhineka Tunggal Ika, bermakna mendalam yang mampu menggambarkan secara utuh dan menyeluruh hakekat keberagaman jagat semesta raya.

Karya besar itu lahir melalui dinamika proses perenungan dan kristalisasi pemikiran yang panjang, setidaknya membutuhkan waktu satu dasawarsa atau sepuluh tahun.

Konsep dan formulasi Bhineka Tunggal Ika hasil buah pemikiran gemilang Mpu Tantular, dicetuskan tujuh abad silam dalam karya berjudul Kekawin (pembacaan ayat-ayat suci agama Hindu-Budha) Purusadasanta, atau kini lebih populer dengan sebutan Kekawin Sutasoma.

Pada seminar nasional yang digelar Program Pascasarjana Institut Hindu Dharma Negeri (IHDN) Denpasar itu, Hastho Bramantyo menjelaskan, Kekawin Sutasoma menempati posisi penting bersama dengan karya lainnya seperti Pararaton dan Negara Kertagama.

Kekawin Sutasoma berfungsi sebagai ilmu tentang keagamaan atau teologi bagi Raja Rajasanegara pada zaman kerajaan Majapahit. Bagi Indonesia modern, kitab itu juga memberikan inspirasi dan tempat ditemukannya moto Bhineka Tunggal Ika.

Sejumlah peneliti dalam dan luar negeri belum bisa menemukan sumber yang definitif tentang Kekawin Sutasoma, namun yang jelas kekawin tersebut bercorak Budhis.

Peneliti Sutasoma tersebut antara lain Ida Bagus Sugriwa (1956), Eisink (1967), Soewito Santoso (1975) dan Zoetmulder (1983), tutur Hastho Bramantyo.

Kamis, 20 Agustus 2009

Membaca Bulan Tanpa Air Jernih…….


Print E-mail

Artikel Apresiasi – Balipost Minggu, 26 April 2009.

Kekuatan Magnetik Bulan Mempengaruhi Air di Bumi

Taruhlah seribu tempayan berisi air jernih di bawah sinar bulan. Maka sebanyak jumlah tempayan itulah bayangan bulan yang nampak. Tapi kalau menoleh ke atas, hanya ada satu bulan bersinar.

Begitulah salah satu metafora yang sering dipergunakan dalam Sastra Kawi. Maksudnya, barangkali, orang yang pikiran dan hatinya jernih, sikapnya tenang, dan lahir bathin suci, sekujur dirinya akan memancarkan cahaya lembut seperti bulan. Pada seribu orang suci seperti itu akan nampak seribu bulan.

Ratusan mungkin banyaknya metafora yang dibuat orang tentang bulan. Karena bulan adalah satu dari beberapa pusat perhatian manusia bumi. Di antara ratusan metafora yang ada, saya melihat ada dua gagasan umum yang bertentangan tapi berdampingan: bulan itu cantik dan bulan itu seram.

Mereka yang melihat bulan itu cantik menghubungkannya dengan gagasan tentang keindahan, terutama keindahan cinta asmara. Bulan pun dijadikan perlambang perasaan asmara itu. Mereka sebut bulan itu Dewi Ratih, Indu, dan berbagai sebutan lain dalam bahasa berbeda. Dalam banyak karya sastra dilukiskan insan yang sedang dirundung asmara akan diaduk-aduk perasaannya oleh perasaan rindu pada kekasih dan seperti disedot oleh kekuatan sinar bulan lantas mereka memandang bulan lama-lama. Tak cukup memandang, mereka juga membisikkan pada bulan tentang rahasia hatinya yang paling dalam.

Entah karena apa, banyak pengarang yang berhasil melukiskan hal-hal seperti itu. Banyak pembaca ternyata senang membacanya. Hanya sedikit kritikus yang mengatakan bahwa lukisan itu hanyalah bentuk lain dan kecengengan alias sentimentalitas berlebihan. Tapi biarlah. Yang jelas, banyak orang sepakat bahwa bulan itu mewakili gagasan kecantikan dan keindahan.

Tapi bahwa bulan itu mewakili gagasan tentang keseraman ternyata juga banyak pemeluknya. Misalnya, cerita horor tentang Drakula dihubungkan dengan bulan pernama. Srigala malam yang melolong-lolong melihat roh-roh dan makhluk halus juga dihubungkan dengan bulan. Cerita manusia harimau jadi-jadian, dan beberapa wujud jadi-jadian lainnya, selalu dihubungkan dengan bulan, bahwa bulan purnama yang bersinar terang dan sejuk, indah dan menenteramkan mata dan hati.

Sebagai wakil dari gagasan keseraman, dalam tradisi kita bulan disebut Soma, sebuah kata yang juga berarti hari Senin, sehari setelah hari Redite (Minggu), yaitu nama lain untuk matahari. Putera Soma yang telah paripurna mempelajari ajaran Tantra Bhairawa disebut Sutasoma. Putera Bulan ini menjadi tokoh utama dalam Kakawin Sutasoma karya Mpu Tantular. Kata bhairawa berarti ‘yang seram’, ‘yang dahsyat‘ yang menakutkan ‘yang gelap dan hitam’.

Gelap dan hitam adalah warna malam. Bulan adalah ratu penguasa malam. Kekuatan magnetik bulan mempengaruhi air yang ada di bumi. Air pun disimbulkan hitam dalam upakara dan upacara. Air adalah malam. Sementara tanah yang disebut lemah dihubungkan dengan siang. Dari kata lemah memang berarti siang hari.

Bulan memiliki hubungan dengan Kala. Ia disebut Sasih, yang juga berarti musim. Keempat musim yang ada di bumi adalah bagian dari Prajapati yang dalam banyak sumber tertulis diidentikkan dengan tahun. Prajapati berhubungan langsung dengan Durgha yang memberi penugasan pada Kala di dunia.

Hubungan bulan dengan Kala dapat digambarkan sebagai pertautan dalam konflik. Bulan memiliki kemampuan menawar kekuatan Kala. Dalam Kakawin Sumanasantaka misalnya disebutkan sungai atau air mistis yang bersumber dari bulan disebut Narmada. Air ini diyakini memiliki kekuatan tawar dengan Kala. Air inilah yang kemudian oleh banyak orang disebut air awet muda.

Karena bulan punya kekuatan yang menandingi Kala, maka ia menjadi incaran Kala, yaitu Kalarahu. Dalam mitologi dijelaskan ketika Kalarahu berhasil mencaplok bulan, dan sebelum ia herhasil menelannya karena lehernya dipanah, maka meneteslah air dan bulan dan jatuh ke bumi. Banyak orang percaya air yang menetes itu adalah amerta, air yang membuat peminumnya tidak akan “mati-mati’, alias melampaui batas hukum Kala. Kuat asumsi bahwa amerta inilah yang disebut Narmada yang sekarang diyakini walau tidak membuat peminumnya akan hidup terus, paling tidak akan menunda kematian alias awet muda.
Dan hubungannya dengan Bhairawa, Kala, dan Durgha, maka bulan kemudian sering dihubungkan dengan paham yang berkonotasi hitam, kin. Bulan pun disebut Dyah Sasangka yang cantik dan sekaligus seram.

Gagasan bulan sebagai yang cantik dan sekaligus seram identik dengan gagasan orang tentang kuburan yang disebut Setra Gandamayu (tempat berbau harum). Kuburan adalah tempat mayat dengan konotasi ketidaksucian alias leteh. Tapi secara mistis tempat mayat itu dipandang menyebarkan bau harum. Pada kesempatan lain kita akan belajar membaca buku besar bernama Kuburan. •IBM Dharma Palguna.



yang lainnya kelik disini /www.parisada.org

Mantap dalam Kesendirian


Print E-mail

NusaBali – Rabu, 13 Mei 2009.

Oleh : I Gede Suwantana*

Aho janasamuho’pi na dvaitam pasyato mama,
Aranyamiva sambrtam kva ratim karavânyaham,
(Astavakra Samhita, II. 21.)

Oh, Aku tidak menemukan adanya dualitas. Meskipun di dalam keramaian manusia, semuanya telah menjadi seperti di Hutan rimba. Untuk apa harus Aku mengikat diri sendiri?

TELAH menjadi seperti di hutan rimba artinya bahwa kita merasa mutlak sendiri. Ke mana pun kita pergi, keheningan diri tidak pernah terganggu. Keributan, kekacauan, dan keguncangan duniawi tidak mempengaruhi kesendirian, keheningan kita.

Bagaimana mungkin ada gangguan, sebab yang kita lihat hanya kesatuan di mana-mana. Kita merasa terganggu karena ada sesuatu di luar diri kita yang mengganggu. Gangguan ada karena kita ada dalam dualitas, ada diri yang terganggu dan ada sesuatu lain yang mengganggu. Tetapi jika yang ada hanya satu, jika hanya Aku saja yang eksis, maka mustahil
datangnya gangguan, dan apa atau dan siapa gangguan itu datang?

Bagi orang yang telah mencapai Pengetahuan-Diri, yang telah berada dalam Kesadaran Ilahi, maka, rasa kesatuan ini telah menjadi nature-nya. Ketika dualitas telah dapat kita lalui, maka panas-dinginnya kehidupan tidak akan mempengaruhi kita lagi. Panas dingin itu telah lenyap bersama dualitas itu. Tidak ada orang yang mampu mengganggu kita lagi, sebab mereka yang ada di luar kita sesungguhnya bukan berbeda dari kita, kita merasa mereka adalah bagian dari kita sendiri. Emosi kita juga akan stabil, sebab keterikatan akan sesuatu tidak ada lagi. Sesuatu yang di luar telah tiada atau ia ada tetapi ilusi, tidak nyata, hanya bayangan. Kita tidak mungkin marah, sebab untuk marah kita memerlukan objek untuk dimarahi. Saat kita merasa kesatuan, segala sesuatunya hanya satu, hanya Sang Diri eksis, maka marah tidak akan mungkin muncul.

Lalu apakah dengan kita telah mencapai Pengetahuan Diri ini, kita tidak memiliki marah lagi, kita tidak memiliki emosi lagi? Karena kita telah mantap dalam kesendirian, tidak terganggu dengan keramaian, apakah berarti kita tidak perlu berinteraksi sosial, karena mereka sudah tidak bisa menyentuh nasa kita lagi? Alangkah kacaunya hidup ini jika orang hanya sibuk dengan kesendiriennya, tanpa peduli dengan orang lain?

Bukan demikian maksud pernyataan ini. Pencapaian akan Pengetahuan-Diri bukan berarti menghilangkan kesempurnaannya. Rasa marah, cinta, atau bentuk-bentuk emosi lainnya, demikian juga keinginan kita untuk tetap berinteraksi sosial, rasa kebersamaan adalah pengisi sel-sel kelengkapan alam semesta. Segala sesuatu yang ada di dunia ini memiliki fungsi masing-masing yang saling melengkapi satu dengan yang lainnya sehingga proses kehidupan bisa berjalan dengan baik. Alam semesta ini berkembang dengan sempurna. Pencapaian akan Pengetahuan Diri tidak menghilangkan peran salah satu atau beberapa fungsi dari sistem ini. Justeru ketika kita mencoba menghilangkan salah satunya atau beberapa bagiannya, sistem ini tidak dapat berjalan dengan maksimal.

Jadi di sini, rasa marah tetap berada dalam kesempurnaannya dan kemuliaannya. Marah juga ada dalam diri orang yang telah mencapai Kesadaran Tertinggi, tetapi berbeda dengan kemarahan yang dimiliki orang biasa. Bagi orang yang telah tercerahi, marah yang ditampilkannya hanya sebuah lakon, hanya drama, sedangkan marah bagi orang
kebanyakan, betul-betul membelenggunya. Dia tidak dapat membedakan antara kemarahan den dirinya. Dia benar-benar terindentifikasi dengan kemarahan itu. Jadi bagi mereka yang telah mencapai Pengetahuan Diri ini tidak pernah terpengaruh dengan apa pun yang terjadi di luar dirinya sebab dualitas telah lenyap baginya, objek yang mempengaruhi dirinya telah tiada. Dan apa yang terjadi hanyalah sebuah Drama yang mesti dilakonkan. Sedangkan orang kebanyakan, terikat dengan kemarahan itu. Mereka jatuh oleh kemarahan itu. Mereka terindentifikasi oleh kemarahan itu. Kemarahan adalah identitasnya. Mereka tidak mengerti bahwa semuanya hanyalah lakon.

Demikian, kebenaran tidak akan berubah, dan tidak ada yang mesti diubah untuk berada dalam capaian Pengetahuan-Diri. Saat kita menyadari semua itu, maka kita mengenti semuanya hanyalah drama. Dan ketika kita mengerti bahwa hidup hanya drama, maka kita akan mampu merasakan kesatuan itu. Kita telah mantap berada dalam kesendirian. Tetapi, bagi mereka yang tidak mengerti, maka yang terjadi adalah kebalikannya, selamanya terbelenggu oeh dualitas kehidupan. * Penulis, Direktur Irndra Udayana Institute of Vedanta.

Idealisme Karna Perlu Ditiru




Media Hindu No. 63 – Mei 2009.

Oleh: Ni Made Ayu Sukma Asritya*)

Karna, putra Dewi Kunti.
Pada suatu hari, Kunti ditugasi menjamu seorang pendeta tamu ayahnya, bernama Resi Durwasa. Puas atas pelayanan Kunti pada jamuan itu, Durwasa menganugerahi Kunti sebuah ilmu kesaktian bernama Adityahredaya, dengan mantra ia dapat mengundang dewa dan mendapat anugerah putra darinya.

Keesokannya Kunti mencoba mantra tersebut sambil memandang matahari terbit, sehingga Surya, dewa matahari, muncul dan siap memberinya seorang putra. Kunti yang ketakutan menolak karena dirinya hanya ingin mencoba keampuhan Adityahredaya saja. Surya menyatakan dengan tegas bahwa Adityahredaya bukanlah mainan. Dengan sabda sang dewa, Kunti pun mengandung. Namun Surya membantunya segera melahirkan bayi tersebut. Surya lalu kembali ke kahyangan setelah memulihkan kembali keperawanan Kunti.

Demi menjaga nama baik negaranya, “putra Surya” itu dihanyutkan di sungai hingga akhirnya ditemukan oleh Adirata, seorang sais kereta Kerajaan Kuru yang dengan gembira menjadikan bayi tersebut sebagaianaknya. Karena sejak lahir sudah memakai pakaian perang lengkap dengan anting-anting dan kalung pemberian Surya, maka bayi itu pun diberi nama Basusena.
Basusena diasuh dalam keluarga Adirata, sehingga dikenal dengan julukan Sutaputra (anak kusir). Namun, julukan lainnya yang lebih terkenal adalah Radheya, yang bermakna “anak Radha’ (istri Adirata). Radheya berkeinginan menjadi sorang perwira kerajaan. Radheya memutuskan belajar ilmu perang, khususnya dalam hal ilmu memanah. Selain belajar ilmu mernanah dan Parasurama, Radheya juga belajar ilmu perang dengan mengintai Drona saat sedang mengajar murid-muridnya. Meskipun berguru secara tidak resmi, kehebatan Radheya dalam memanah melebihi murid-murid resmi Drona. Bakat keterampilan ini Radheya dijuluki sebagai Karna.

Suatu ketika, terjadi uji tanding antara Kurawa dengan Pandawa sebagai murid-murid Drona, Karna berhasil menandingi kesaktian Arj una. Namun akibat Karna bukan raja atau anak raja maka Karna diusir dan arena. Kesaktian Karna diketahui oleh Duryodhana, ketua para Kurawa itu pun mengangkatnya menjadi raja Angga. Sejak itu Karna bersumpah setia kepada Duryodana sebagai balas budinya.

Beberapa waktu pun berlalu, hingga Karna tahu bahwa dirinya adalah anak Dewi Kunti dan Dewa Surya. Dewi Kunti merayu Karna agar bergabung dengan para Pandawa. Namun Karna kembali bersikap tegas dan menolak bergabung dengan pihak Pandawa. Karna merasa hanya para Korawa-lah yang selama ini menghargainya dan mengenalkannya arti “persahabatan sejati” dan jika Karna beralih ke kubu Pandawa berarti dirinya seorang pengkhianat.
Ketika Bharatayudha pecah, Karna diangkat sebagai panglima perang oleh Duryodhana setelah gugurnya Bhisma, Drona, dan sekutunya yang lain. Dalam Karnapanwa, disebutkan Karna gugur di tangan Arjuna dengan senjata Pasupati pada hari ke-17. Meskipun sewaktu di dunia Karna hidup bersama Para Korawa, namun ketika berada di akhirat jiwanya berkumpul dengan para Pandawa.

Idealisme Karna di masa kini.
Kisah Karna berhubungan dengan nilai-nilai kesetiaan yang terdapat dalam ajaran Panca Satya. Kelima nilai kesetiaan itu adalah:

Pertama, satya wacana artinya setia atau jujur dalam berkata-kata dan tidak berdusta.
Kedua, satya hredaya, artinya setia akan kata hati, berpendirian teguh dan tidak mudah terombang-ambing.
Ketiga, satya laksana, artinya setia dan jujur mengakui dan bertanggung jawab terhadap apa yang pernah diperbuat.
Keempat, satya mitra, artinya setia kepada teman atau sahabat.
Kelima, satya semaya, artinya setia kepada sumpah ataupun janji.

Pelajaran penting dari kisah Karna adalah bahwa idealisme Karna perlu ditiru oleh masyarakat. Karna tetap berpegang teguh pada pendiriannya dan tidak mudah digoyahkan oleh apapun. Para calon pemimpin, hendaknya mempunyai sifat seperti Karna yang Setia pada janji-janjinya, setia pada sahabat-sahabatnya, berpendirian teguh, serta jujur dan bertanggung jawab. Jangan hanya mengobral janji palsu yang tidak menghantarkan hasil bagi kehidupan masyarakat yang dipimpinnya.

Indonesia membutuhkan pemimpin yang mampu mengatasi masalah-masalah kenegaraan yang krusial. Rgveda X.91. 2 menyebutkan : ”janan janam janyo ndti manyate visa a kseti visyo visath visam”. Artinya, pemimpin bagaikan api, pemimpin adalah seorang tokoh yang mencintai sesama manusia dan tidak membenci siapapun. Setiap pemimpin terpilih harus mampu menempatkan diri secara tepat dan mampu memandang jelas serta membedakan antara kekuasaan dan kepemimpinan. Karena kepemimpinan tanpa kebijaksanaan akan berubah menjadi kekuasaan. Sedangkan kekuasaan berpeluang besar menimbulkan penindasan. Oleh sebab itu, Kitab Ramayana Jawa Kuno Bab I Sloka 9 menyatakan, “parartha gunawe sukhanin bhuwana”. Artinya, seorang pemimpin harus mengutamakan kepentingan umum dan berbuat untuk kebahagiaan rakyat banyak.
Penulis adalah Pemenang I Lomba Karya Ilmiah Populer 2008 (essay) Pelajar Tingkat SMP se Kota Bontang

Senin, 17 Agustus 2009

Sentuhan Bali Bergaya Internasional

MEMAHAMI Bali, adalah memahami beragam keindahannya. Budaya yang dipaparkan, dan beragam gerak kehidupan masyarakatnya adalah keindahan. Beranjak dari itulah para perancang Bali mencoba memotret keindahan budaya Bali lewat busana. Sebuah oase pun tercipta.

Untuk ukuran Indonesia, Bali memang sangatlah bernuansa etnis Bali berpadu dengan gaya modern. Hal itu terjadi karena banyaknya pengaruh dari luar negeri masuk sehingga Bali yang tadinya sangat kental dengan ornamen tradisional Bali kini mulai dipengaruhi oleh gaya modern, minimalist, art deco atau apa saja yang sifatnya internasional.

Sekelompok Perancang Mode kreatif Bali mencoba menjabarkan karya-karya terbaru mereka yang sarat dengan nuansa etnis Bali dengan penyajian desain yang sangat modern dan bergaya internasional.

Koleksi terbaru ini akan ditampilkan nanti pada pagelaran akbar Bali In Fashion 2009 di Kharisma Ballroom Discovery Kartika Plaza Hotel Kuta, 12 Agustus 2009.

Di sini ditampilkan sebagian dari karya mereka yang rata-rata menggunakan kain tradisional Bali seperti tenun ikat, songket, perada ataupun kain batik Bali yang kita kenal dengan sebutan batik colet.

Seperti karya Raphael, desainer muda multitalenta ini terinspirasi oleh Calon Arang ke dalam koleksinya yang bergaya etnik modern kontemporer, dengan memakai bahan poleng dipadukan dengan bahan-bahan lain yang berwarna hitam putih.

Tude Togog, desainer yang base usahanya di Gianyar ini menampilkan gaun-gaun modern dengan bahan tradisional Bali tenun ikat atau yang lebih terkenal kita sebut bahan endek.

Raden Sirait perancang yang base usahanya di Jakarta dan Bali ini tetap menampilkan ciri khasnya yaitu kebaya. Kali ini ia memakai bahan bawahannya dari songket Bali.

Begitu juga dengan Oka Diputra, perancang muda asal Ubud dan cukup dikenal di seantero Nusantara ini mengolah songket Bali dengan gaya yang sangat unik yaitu perpaduan gaya Asia dengan barat.

Perancang senior Bali Elice Seymour dan desainer kawakan Ali Charisma mencoba menampilkan gaya Bali malam hari. Jika Elice menampilkan koleksi untuk party larut malam, dugem dan clubing, Ali Charisma mencoba membuat koleksi untuk pesta formal malam hari atau jamuan makan malam.

Kemudian Nandie Amidarmo, salah satu desainer yang punya gagasan untuk menggelar acara ini menampilkan busana santai dan formal siang hari. Sebagai aksentuasi Nandie mengolah motif kain-kainnya dengan batik colet Bali dengam ornamen bunga-bunga yang biasa terdapat pada kain perada Bali.

Keseluruhan foto hasil jepretan Puri Artistik Photographer ini mencoba menampilkan suasana Bali dari setiap sudut fotonya, agar penampilan koleksi ini bisa langsung ditebak bahwa ini adalah karya para perancang mode dari Bali. Sebuah gagasan cerdas untuk memotret keindahan, keriuhan, dan geletak Bali dalam sebuah busana modern, tanpa meninggalkan nuansa dan suasana iklim Bali. (osi)

Sumber: www.balipost.com
» Trend
Minggu, 09 Agustus 2009


Senin, 10 Agustus 2009

Kapan Dunia Kiamat

Minggu, 09 Agustus 2009
Oleh I Ketut Wiana
Tapah param krta yugetretayam jnanamuscyate.
Dwapare yajnaewahurDanamekam kalau yuge.(Manawa Dharmasastra, I.86).
Maksudnya:
Pada zaman Kerta Yuga, dengan bertapalah cara beragama yang paling utama. Zaman Treta Yuga, beragama dengan mengamalkan ilmu pengetahuan suci (jnana) itulah yang paling utama. Zaman Dwapara Upacara, yadnya-lah yang paling utama. Sedangkan pada zaman Kali Yuga, dana punia-lah cara beragama yang paling utama.PERUBAHAN terjadi karena adanya perjalanan waktu. Waktu terjadi karena adanya peredaran isi alam. Misalnya bumi mengelilingi matahari dan bulan mengelilingi bumi. Demikian juga planet-planet yang lainnya beredar sesuai dengan hukum Rta. Agar hidup ini dapat mengikuti perubahan waktu, sikap hidup pun harus berubah disesuaikan dengan perubahan itu.Alam ciptaan Tuhan ini memberikan ruang dan waktu pada kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya. Seperti pernyataan sloka Manawa Dharmasastra I.86, ada tuntunan cara beragama umat manusia pada setiap zaman. Semua ciptaan Tuhan ditata berdasarkan hukum utpati (tercipta), sthiti (hidup terpelihara) dan pralina (lenyap kembali kepada asalnya). Alam dan isinya ini, setelah masanya selesai beredar dan berputar-putar, akan pralina atau pralaya. Istilah lainnya, kiamat.Ada suatu kelompok keyakinan yang menyatakan dunia akan kiamat akhir 2009 ini. Ada juga isu-isu yang menyatakan dunia akan kiamat akhir 2012. Pendapat atau pandangan tentang dunia kiamat itu dalam era demokrasi dewasa ini tentunya boleh-boleh saja. Yang patut dijelaskan, bagaimana pandangan Hindu tentang dunia kiamat ini.Istilah kiamat memang tidak dijumpai dalam ajaran Hindu. Namun, yang mirip dengan konsep kiamat mungkin konsep pralina atau pralaya dalam kitab-kitab Purana. Dalam kitab-kitab Purana, utpati, sthiti dan pralina dibahas secara khusus. Memang terdapat sedikit perbedaan antara Purana satu dan Purana lainnya mengenai konsep ini. Namun, secara umum menyangkut hal-hal yang substansial, semua Purana isinya sama, bahwa semua ciptaan Tuhan ini kena hukum Tri Kona yaitu utpati, sthiti dan pralina itu.Dalam kitab Brahma Purana misalnya dinyatakan satu hari Brahman (satu kalpa) atau satu siang dan satu malamnya Tuhan lamanya 14 manwantara. Satu manwantara = 71 maha yuga. Satu maha yuga = empat zaman yaitu kerta, treta, dwapara dan kali yuga. Satu maha yuga = 432 juta tahun.Sekarang peredaran alam semesta sedang berada pada manwantara ketujuh dibawah pimpinan Vaivasvata Manu. Ini artinya pralaya atau kiamat total akan terjadi setelah manu ke-14 berakhir. Manu ke-14 adalah Suci sebagai Indra Savarni Manu.EMPAT KONSEP PRALAYAKonsep pralaya dalam Wisnu dan Brahmanda Purana ada dinyatakan empat konsep pralaya yaitu:
1. NITYA PRALAYA yaitu proses kematian yang terjadi setiap hari dari semua makhluk hidup. Bahkan dalam diri manusia pun setiap detik ada sel tubuhnya yang mati dan diganti dengan sel baru. Sel tubuh manusia terjadi utpati, sthiti dan pralina.
2. NAIMITIKA PRALAYA adalah pralaya yang terjadi dalam satu periode manu. Menurut pandangan ini akan terjadi pralaya terbatas dalam setiap akhir manwantara. Ini artinya akan terjadi 14 kali naimitika pralaya atau kiamat terbatas atau kehancuran alam secara terbatas.
3. PRAKRTIKA PRALAYA yaitu terjadinya pralaya secara total setelah manwantara ke-14. Saat terjadinya Prakrtika Pralaya, seluruh alam semesta beserta isinya lenyap dan kembali pada Brahma atau Tuhan yang Mahaesa dalam waktu yang panjang atau satu malamnya Brahma. Setelah itu akan terjadi penciptaan lagi dan memulai dengan manwantara pertama lagi. Prakrtika Pralaya inilah yang mungkin identik dengan konsep kiamat menurut kepercayaan lainnya. Karena, semua unsur alam dengan segala isinya kembali pada Brahman. Menurut keyakinan Hindu, hanya Tuhanlah yang kekal abadi.
4. ATYANTIKA PRALAYA yaitu pralaya yang disebabkan oleh kemampuan spiritualnya melalui suatu pemberdayaan jnyana yang amat kuat sehingga seluruh dirinya masuk secara utuh lahir batin kepada Tuhan Brahman.Demikian konsep pralaya (semacam kiamat) menurut Hindu. Yakinlah, pralaya dalam arti Prakrtika Pralaya tidak akan terjadi dalam waktu dekat ini, apalagi dinyatakan akhir tahun ini atau tahun 2012 mendatang. Sedangkan Nitya Pralaya akan terjadi dalam setiap hari, ada makhluk hidup yang mati dan ada yang lahir.Untuk menyelamatkan diri dari pengaruh buruk pada setiap perjalanan yuga itu, Swami Satya Narayana menyatakan agar manusia berperilaku seperti zaman atau mengikuti yuga sebelumnya. Misalnya, pada zaman treta, Sri Rama dan para pengikutnya berperilaku mengikuti zaman kerta yuga meskipun Sri Rama hidup pada zaman treta yuga. Sedangkan Rahwana berperilaku seperti zaman kali. Karena itu, Sri Rama dengan pengikutnya selamat hidup di bawah lindungan dharma dan Rahwana hancur karena hidup berdasarkan adharma.
Demikian juga Pandawa dengan Sri Krisna hidup pada zaman dwapara yuga, tetapi perilakunya mengikuti zaman kerta dan treta yuga. Dengan demikian Pandawa dan Sri Krisna memenangkan hidup berdasarkan dharma, sedangkan Korawa hancur karena mengikuti cara hidup yang adharma.Demikianlah kini, kalau ingin selamat dari pengaruh zaman kali, hiduplah seperti zaman dwapara. Bahkan kalau bisa, ikuti treta atau kerta, maka akan selamatlah dari pengaruh buruk zaman kali. Justru pengaruh baiknya yang akan didapatkan.

Jumat, 07 Agustus 2009

Hari Raya Galungan

Hari Raya Galungan (Budha Kliwon Dungulan)

Sejarah Hari Raya Galungan masih merupakan misteri. Dengan mempelajari pustaka-pustaka, di antaranya Panji Amalat Rasmi (Jaman Jenggala) pada abad ke XI di Jawa Timur, Galungan itu sudah dirayakan. Dalam Pararaton jaman akhir kerajaan Majapahit pada abad ke XVI, perayaan semacam ini juga sudah diadakan.
Menurut arti bahasa, Galungan itu berarti peperangan. Dalam bahasa Sunda terdapat kata Galungan yang berarti berperang.

Parisadha Hindu Dharma menyimpulkan, bahwa upacara Galungan mempunyai arti Pawedalan Jagat atau Oton Gumi. Tidak berarti bahwa Gumi/ Jagad ini lahir pada hari Budha Keliwon Dungulan. Melainkan hari itulah yang ditetapkan agar umat Hindu di Bali menghaturkan maha suksemaning idepnya ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi atas terciptanya dunia serta segala isinya. Pada hari itulah umat angayubagia, bersyukur atas karunia Ida Sanghyang Widhi Wasa yang telah berkenan menciptakan segala-galanya di dunia ini.

Ngaturang maha suksmaning idép, angayubagia adalah suatu pertanda jiwa yang sadar akan Kinasihan, tahu akan hutang budi.


Yang terpenting, dalam pelaksanaan upakara pada hari-hari raya itu adalah sikap batin. Mengenai bebanten tidak kami tuliskan secara lengkap dan terinci. Hanya ditulis yang pokok-pokok saja menurut apa yang umum dilakukan oleh umat. Namun sekali lagi, yang terpenting adalah kesungguhan niat dalam batin.

Dalam rangkaian peringatan Galungan, pustaka-pustaka mengajarkan bahwa sejak Redite Pahing Dungulan kita didatangi oleh Kala-tiganing Galungan. Sang Kala Tiga ialah Sang Bhuta Galungan, Sang Bhuta Dungulan dan Sang Bhuta Amangkurat. Disebutkan dalam pustaka-pustaka itu: mereka adalah simbul angkara (keletehan). Jadi dalam hal ini umat berperang, bukanlah melawan musuh berbentuk fisik, tetapi kala keletehan dan adharma. Berjuang, berperang antara dharma untuk mengalahkan adharma. Menilik nama-nama itu, dapatlah kiranya diartikan sebagai berikut:

  1. Hari pertama = Sang Bhuta Galungan.
    Galungan berarti berperang/ bertempur. Berdasarkan ini, boleh kita artikan bahwa pada hari Redite Pahing Dungulan kita baru kedatangan bhuta (kala) yang menyerang (kita baru sekedar diserang).
  2. Hari kedua = Sang Bhuta Dungulan.
    Ia mengunjungi kita pada hari Soma Pon Dungulan keesokan harinya. Kata Dungulan berarti menundukkan/ mengalahkan.
  3. Hari ketiga = Sang Bhuta Amangkurat
    Hari Anggara Wage Dungulan kita dijelang oleh Sang Bhuta Amangkurat. Amangkurat sama dengan menguasai dunia. Dimaksudkan menguasai dunia besar (Bhuwana Agung), dan dunia kecil ialah badan kita sendiri (Bhuwana Alit).

Pendeknya, mula-mula kita diserang, kemudian ditundukkan, dan akhirnya dikuasai. Ini yang akan terjadi, keletehan benar-benar akan menguasai kita, bila kita pasif saja kepada serangan-serangan itu. Dalam hubungan inilah Sundari-Gama mengajarkan agar pada hari-hari ini umat den prayitna anjekung jnana nirmala, lamakane den kasurupan. Hendaklah umat meneguhkan hati agar jangan sampai terpengaruh oleh bhuta-bhuta (keletehan-keletehan) hati tersebut. Inilah hakikat Abhya-Kala (mabiakala) dan metetebasan yang dilakukan pada hari Penampahan itu.

Menurut Pustaka (lontar) Djayakasunu, pada hari Galungan itu Ida Sanghyang Widhi menurunkan anugrah berupa kekuatan iman, dan kesucian batin untuk memenangkan dharma melawan adharma. Menghilangkan keletehan dari hati kita masing-masing. Memperhatikan makna Hari Raya Galungan itu, maka patutlah pada waktu-waktu itu, umat bergembira dan bersuka ria. Gembira dengan penuh rasa Parama Suksma, rasa terimakasih, atas anugrah Hyang Widhi. Gembira atas anugrah tersebut, gembira pula karena Bhatara-bhatara, jiwa suci leluhur, sejak dari sugi manek turun dan berada di tengah-tengah pratisentana sampai dengan Kuningan.

Penjor terpancang di muka rumah dengan megah dan indahnya. Ia adalah lambang pengayat ke Gunung Agung, penghormatan ke hadirat Ida Sanghyang Widhi. Janganlah penjor itu dibuat hanya sebagai hiasan semata-mata. Lebih-lebih pada hari raya Galungan, karena penjor adalah suatu lambang yang penuh arti. Pada penjor digantungkan hasil-hasil pertanian seperti: padi, jagung, kelapa, jajanan dan lain-lain, juga barang-barang sandang (secarik kain) dan uang. Ini mempunyai arti: Penggugah hati umat, sebagai momentum untuk membangunkan rasa pada manusia, bahwa segala yang pokok bagi hidupnya adalah anugrah Hyang Widhi. Semua yang kita pergunakan adalah karuniaNya, yang dilimpahkannya kepada kita semua karena cinta kasihNya. Marilah kita bersama hangayu bagia, menghaturkan rasa Parama suksma.
Kita bergembira dan bersukacita menerima anugrah-anugrah itu, baik yang berupa material yang diperlukan bagi kehidupan, maupun yang dilimpahkan berupa kekuatan iman dan kesucian batin. Dalam mewujudkan kegembiraan itu janganlah dibiasakan cara-cara yang keluar dan menyimpang dari kegembiraan yang berdasarkan jiwa keagamaan. Mewujudkan kegembiraan dengan judi, mabuk, atau pengumbaran indria dilarang agama. Bergembiralah dalam batas-batas kesusilaan (kesusilaan sosial dan kesusilaan agama) misalnya mengadakan pertunjukkan kesenian, malam sastra, mapepawosan, olahraga dan lain-lainnya. Hendaklah kita berani merombak kesalahan-kesalahan/ kekeliruan-kekeliruan drsta lama yang nyata-nyata tidak sesuai atau bertentangan dengan ajaran susila. Agama disesuaikan dengan desa, kala dan patra. Selanjutnya oleh umat Hindu di Bali dilakukan persernbahyangan bersama-sama ke semua tempat persembahyangan, misalnya: di sanggah/ pemerajan, di pura-pura seperti pura-pura Kahyangan Tiga dan lain-lainnya. Sedangkan oleh para spiritualis, Hari Raya Galungan ini dirayakan dengan dharana, dyana dan yoga semadhi.

Persembahan dihaturkan ke hadapan Ida Sanghyang Widhi dan kepada semua dewa-dewa dan dilakukan di sanggah parhyangan, di atas tempat tidur, di halaman, di lumbung, di dapur, di tugu (tumbal), di bangunan-bangunan rumah dan lain-lain.
Seterusnya di Kahyangan Tiga, di Pengulun Setra (Prajapati), kepada Dewi Laut (Samudera) Dewa Hutan (Wana Giri) di perabot-perabot / alat-alat rumah tangga dan sebagainya.

Widhi-widhananya untuk di Sanggah/ parhyangan ialah: Tumpeng penyajaan, wewakulan, canang raka, sedah woh, penek ajuman, kernbang payas serta wangi-wangian dan pesucian. Untuk di persembahyangan (piasan) dihaturkan tumpeng pengambean, jerimpen, pajegan serta dengan pelengkapnya. Lauk pauknya sesate babi dan daging goreng, daging itik atau ayarn, dibuat rawon dan sebagainya. Sesudah selesai menghaturkan upacara dan upakara tersebut kemudian kita menghaturkan segehan tandingan sebagaimana biasanya, untuk pelaba-pelaba kepada Sang Para Bhuta Galungan, sehingga karena gembiranya mereka lupa dengan kewajiban- kewajibannya mengganggu dan menggoda ketentraman batin manusia.
Demikianlah hendaknya Hari Raya Galungan berlaku dengan aman dan diliputi oleh suasana suci hening, mengsyukuri limpahan kemurahan Ida Sanghyang Widhi untuk keselamatan manusia dan seisi dunia. Pada hari Saniscara Keliwon Wuku Kuningan (hari raya atau Tumpek Kuningan), Ida Sanghyang Widhi para Dewa dan Pitara-pitara turun lagi ke dunia untuk melimpahkan karuniaNya berupa kebutuhan pokok tersebut.
Pada hari itu dibuat nasi kuning, lambang kemakmuran dan dihaturkan sesajen-sesajen sebagai tanda terimakasih dan suksmaning idep kita sebagai manusia (umat) menerima anugrah dari Hyang Widhi berupa bahan-bahan sandang dan pangan yang semuanya itu dilimpahkan oleh beliau kepada umatNya atas dasar cinta-kasihnya. Di dalam tebog atau selanggi yang berisi nasi kuning tersebut dipancangkan sebuah wayang-wayangan (malaekat) yang melimpahkan anugrah kemakmuran kepada kita semua.
Demikian secara singkat keterangan-keterangan dalam merayakan hari Raya Galungan dan Kuningan dalam pelaksanaan dari segi batin.

Kesimpulan:

  • Dalam menyambut dan merayakan hari-hari raya itu, bergembiralah atas anugrah Hyang Widhi dalam batas-batas kesusilaan agama dan keprihatinan bangsa.
  • Terangkan hati, agar menjadi Çura, Dira dan Deraka (berani, kokoh dan kuat), dalam menghadapi hidup di dunia.
  • Hemat dan sederhanalah dalam mempergunakan biaya.
  • Terakhir dan bahkan yang terpenting ialah mohon anugrah Hyang Widhi dengan ketulusan hati.

Om, sampurna ya nama swaha.
Om, sukham bhawantu.

Selasa, 04 Agustus 2009

Pagerwesi


Setiap Buda Kliwon Sinta, kita (umat Hindu) merayakan rerahinan Pagerwesi. Dari kediaman sekarang (Blitar), saya membayangkan daerah-daerah yang mayoritas penduduknya umat Hindu pasti sudah tampak sibuk mempersiapkan sarana upakara untuk merayakan Pagerwesi. Umat, terutama ibu-ibu sudah tampak menghaturkan sesajen atau banten di merajan atau sanggah masing-masing di pagi hari. Beberapa di antara mereka selanjutnya menuju Pura yang ada di desanya masing-masing atau ke Pura Jagatnatha. Karena varna yang berbeda dari umat, masing-masing menyesuaikan waktunya untuk tangkil ke Pura. Para pemangku memberikan pelayanan dengan sabar yang sejak pagi sudah didatangi pemedek guna melakukan persembahyangan. Di Bali khususnya, di Pura-Pura yang sehari-harinya juga menjadi daerah kunjungan wisata, biasanya pemedek tampak berbaur dengan sejumlah wisatawan mancanegara yang memasuki areal pura (non-Utama Mandala) diantar oleh guide-nya. Mereka rupanya ingin menyaksikan dari dekat proses persembahyangan di pura tersebut. Nampaknya umat yang sudah terbiasa dengan situasi itu tidak begitu terpengaruh oleh kehadiran bule-bule tersebut yang sedikit menyesuaikan dalam hal busana walaupun “sraba-srebe”.

RENUNGAN

Dalam melaksanakan kewajiban selaku umat pemuja Brahman, pernahkah kita merenungkan: Apa sesungguhnya hakekat perayaan Pagerwesi? Disebutkan bahwa Pagerwesi sebagai hari payogan Sang Hyang Pramesti Guru, Jiwa Utama Brahman sebagai Guru Tertinggi atau gurunya segala guru.

Tentang nama Brahman yang diberikan sebagai Sang Hyang Pramesti Guru, saya mempunyai pengertian: “Sang” adalah sebutan kehormatan, “Hyang” berarti yang maha, “Pramesti” terdiri dari kata “Parama” yang berarti agung, luhur, tertinggi dan “Isti” berarti permohonan, “Guru” dalam hal ini adalah Guru Swadhyaya yaitu Brahman. Jadi, Sang Hyang Pramesti Guru adalah Jiwa Utama Brahman sebagai Sang Maha Pengabul pada semua permohonan yang luhur.

Perayaan Pagerwesi masih satu rangkaian dengan perayaan Saraswati. Dalam perayaan Saraswati, kita memuja Shakti Brahman sebagai sumber dari segala sumber pengetahuan, dan sumber kebijaksanaan. Setinggi-tingginya ilmu pengetahuan yang dimiliki seseorang, itu tidak akan berarti apa-apa untuk kesempurnaan jiwanya, jika hal itu tidak menuntunnya untuk memuja Brahman yang merupakan pengetahuan murni dirinya. Abdikanlah ilmu pengetahuan yang telah dianugerahkan kepada kita untuk mewujudkan kedamaian dan kesejahteraan bagi alam semesta sesuai dengan varna yang telah ditentukan pada diri kita masing-masing. Komitmen tersebut mesti mampu menjadi pagar atau benteng (“pura” sejati dalam diri) yang kokoh untuk melindungi diri kita dari segala macam godaan selama mengarungi samudera kehidupan. Dengan membekali diri dengan ilmu pengetahuan, umat diharapkan memiliki wawasan yang luas, sekaligus mampu menghadapi berbagai persoalan hidup.
Pada perayaan Pagerwesi ini, mari kita panjatkan permohonan-permohonan dan kukuhkan komitmen-komitmen yang luhur. Berkomitmen untuk melaksanakan dharma lebih baik lagi dari hari-hari sebelumnya.

“yathadityah samudyan vai tamah sarvvam vyapohati,
evam kalvanamatistam sarvvapapam vyapohati.”

(Sarasamuccaya, sloka16)

Kadi kramaning Sang Hyang Aditya, umijil angilangaken petenging rat, mangkana titikaning wong amulahaken ing dharma, angilangaken sakabehing papa.

(Seperti halnya perilaku matahari yang terbit melenyapkan kegelapan dunia, demikianlah ciri-cirinya pada orang yang melaksanakan dharma, adalah memusnahkan segala macam kenistaan jiwa).

Om dirghayuastu tad astu astu,
Om awighnamastu tad astu astu,
Om subhamastu tad astu astu,
Om sriyam bhawantu, sukham bhawantu, purnam bhawantu.
Om a no badrah kratawo yantu wiswatah.


Kamis, 23 Juli 2009

Tokoh Lagu Bali




Berikut Nama Tokoh - Tokoh Lagu Bali yang berperan aktif dalam merintis bangkitnya lagu Bali hingga berkembang seperti sekarang :

1. AA Wedasmara - pencipta lagu "Kaden Saja"

2. Alm. AA Made Cakra - pencipta lagu "Bungan Sandat"


AA. Made Cakra aktif dalam lagu Bali sejak era 60 an dan telah meciptakan hits - hits yang telah banyak dikenal oleh masyarakat Bali. Lagu Bungan Sandat adalah salah satu hits beliau yang sangat terkenal sampai sekarang.

Beliau merupakan pimpinan Band Putra Dewata yang merupakan cikal bakal terbentuknya band - band di Bali.

3. Rai Susrama

4. Mulyono

5. Pan Kaciran

Kami berusaha untuk mengangkat profil seluruh tokoh lagu Bali yang pernah ada sejak era kebangkitan lagu Bali. Namun banyak kendala yang kami hadapi diperjalannya, sehingga kami sulit untuk menemukan nara sumber yang jelas tentang data dan alamat tokoh - tokoh lagu Bali ini. Untuk itu, kami mohonkan bantuan kepada para pengunjung situs ini untuk bisa menginformasikan kepada kami jika ada informasi tentang tokoh lagu Bali yang tidak kami muat dalam situs ini.


sumber:www.lagubali.com