Kamis, 20 Agustus 2009

Membaca Bulan Tanpa Air Jernih…….


Print E-mail

Artikel Apresiasi – Balipost Minggu, 26 April 2009.

Kekuatan Magnetik Bulan Mempengaruhi Air di Bumi

Taruhlah seribu tempayan berisi air jernih di bawah sinar bulan. Maka sebanyak jumlah tempayan itulah bayangan bulan yang nampak. Tapi kalau menoleh ke atas, hanya ada satu bulan bersinar.

Begitulah salah satu metafora yang sering dipergunakan dalam Sastra Kawi. Maksudnya, barangkali, orang yang pikiran dan hatinya jernih, sikapnya tenang, dan lahir bathin suci, sekujur dirinya akan memancarkan cahaya lembut seperti bulan. Pada seribu orang suci seperti itu akan nampak seribu bulan.

Ratusan mungkin banyaknya metafora yang dibuat orang tentang bulan. Karena bulan adalah satu dari beberapa pusat perhatian manusia bumi. Di antara ratusan metafora yang ada, saya melihat ada dua gagasan umum yang bertentangan tapi berdampingan: bulan itu cantik dan bulan itu seram.

Mereka yang melihat bulan itu cantik menghubungkannya dengan gagasan tentang keindahan, terutama keindahan cinta asmara. Bulan pun dijadikan perlambang perasaan asmara itu. Mereka sebut bulan itu Dewi Ratih, Indu, dan berbagai sebutan lain dalam bahasa berbeda. Dalam banyak karya sastra dilukiskan insan yang sedang dirundung asmara akan diaduk-aduk perasaannya oleh perasaan rindu pada kekasih dan seperti disedot oleh kekuatan sinar bulan lantas mereka memandang bulan lama-lama. Tak cukup memandang, mereka juga membisikkan pada bulan tentang rahasia hatinya yang paling dalam.

Entah karena apa, banyak pengarang yang berhasil melukiskan hal-hal seperti itu. Banyak pembaca ternyata senang membacanya. Hanya sedikit kritikus yang mengatakan bahwa lukisan itu hanyalah bentuk lain dan kecengengan alias sentimentalitas berlebihan. Tapi biarlah. Yang jelas, banyak orang sepakat bahwa bulan itu mewakili gagasan kecantikan dan keindahan.

Tapi bahwa bulan itu mewakili gagasan tentang keseraman ternyata juga banyak pemeluknya. Misalnya, cerita horor tentang Drakula dihubungkan dengan bulan pernama. Srigala malam yang melolong-lolong melihat roh-roh dan makhluk halus juga dihubungkan dengan bulan. Cerita manusia harimau jadi-jadian, dan beberapa wujud jadi-jadian lainnya, selalu dihubungkan dengan bulan, bahwa bulan purnama yang bersinar terang dan sejuk, indah dan menenteramkan mata dan hati.

Sebagai wakil dari gagasan keseraman, dalam tradisi kita bulan disebut Soma, sebuah kata yang juga berarti hari Senin, sehari setelah hari Redite (Minggu), yaitu nama lain untuk matahari. Putera Soma yang telah paripurna mempelajari ajaran Tantra Bhairawa disebut Sutasoma. Putera Bulan ini menjadi tokoh utama dalam Kakawin Sutasoma karya Mpu Tantular. Kata bhairawa berarti ‘yang seram’, ‘yang dahsyat‘ yang menakutkan ‘yang gelap dan hitam’.

Gelap dan hitam adalah warna malam. Bulan adalah ratu penguasa malam. Kekuatan magnetik bulan mempengaruhi air yang ada di bumi. Air pun disimbulkan hitam dalam upakara dan upacara. Air adalah malam. Sementara tanah yang disebut lemah dihubungkan dengan siang. Dari kata lemah memang berarti siang hari.

Bulan memiliki hubungan dengan Kala. Ia disebut Sasih, yang juga berarti musim. Keempat musim yang ada di bumi adalah bagian dari Prajapati yang dalam banyak sumber tertulis diidentikkan dengan tahun. Prajapati berhubungan langsung dengan Durgha yang memberi penugasan pada Kala di dunia.

Hubungan bulan dengan Kala dapat digambarkan sebagai pertautan dalam konflik. Bulan memiliki kemampuan menawar kekuatan Kala. Dalam Kakawin Sumanasantaka misalnya disebutkan sungai atau air mistis yang bersumber dari bulan disebut Narmada. Air ini diyakini memiliki kekuatan tawar dengan Kala. Air inilah yang kemudian oleh banyak orang disebut air awet muda.

Karena bulan punya kekuatan yang menandingi Kala, maka ia menjadi incaran Kala, yaitu Kalarahu. Dalam mitologi dijelaskan ketika Kalarahu berhasil mencaplok bulan, dan sebelum ia herhasil menelannya karena lehernya dipanah, maka meneteslah air dan bulan dan jatuh ke bumi. Banyak orang percaya air yang menetes itu adalah amerta, air yang membuat peminumnya tidak akan “mati-mati’, alias melampaui batas hukum Kala. Kuat asumsi bahwa amerta inilah yang disebut Narmada yang sekarang diyakini walau tidak membuat peminumnya akan hidup terus, paling tidak akan menunda kematian alias awet muda.
Dan hubungannya dengan Bhairawa, Kala, dan Durgha, maka bulan kemudian sering dihubungkan dengan paham yang berkonotasi hitam, kin. Bulan pun disebut Dyah Sasangka yang cantik dan sekaligus seram.

Gagasan bulan sebagai yang cantik dan sekaligus seram identik dengan gagasan orang tentang kuburan yang disebut Setra Gandamayu (tempat berbau harum). Kuburan adalah tempat mayat dengan konotasi ketidaksucian alias leteh. Tapi secara mistis tempat mayat itu dipandang menyebarkan bau harum. Pada kesempatan lain kita akan belajar membaca buku besar bernama Kuburan. •IBM Dharma Palguna.



yang lainnya kelik disini /www.parisada.org

Tidak ada komentar:

Posting Komentar