Kamis, 20 Agustus 2009

Idealisme Karna Perlu Ditiru




Media Hindu No. 63 – Mei 2009.

Oleh: Ni Made Ayu Sukma Asritya*)

Karna, putra Dewi Kunti.
Pada suatu hari, Kunti ditugasi menjamu seorang pendeta tamu ayahnya, bernama Resi Durwasa. Puas atas pelayanan Kunti pada jamuan itu, Durwasa menganugerahi Kunti sebuah ilmu kesaktian bernama Adityahredaya, dengan mantra ia dapat mengundang dewa dan mendapat anugerah putra darinya.

Keesokannya Kunti mencoba mantra tersebut sambil memandang matahari terbit, sehingga Surya, dewa matahari, muncul dan siap memberinya seorang putra. Kunti yang ketakutan menolak karena dirinya hanya ingin mencoba keampuhan Adityahredaya saja. Surya menyatakan dengan tegas bahwa Adityahredaya bukanlah mainan. Dengan sabda sang dewa, Kunti pun mengandung. Namun Surya membantunya segera melahirkan bayi tersebut. Surya lalu kembali ke kahyangan setelah memulihkan kembali keperawanan Kunti.

Demi menjaga nama baik negaranya, “putra Surya” itu dihanyutkan di sungai hingga akhirnya ditemukan oleh Adirata, seorang sais kereta Kerajaan Kuru yang dengan gembira menjadikan bayi tersebut sebagaianaknya. Karena sejak lahir sudah memakai pakaian perang lengkap dengan anting-anting dan kalung pemberian Surya, maka bayi itu pun diberi nama Basusena.
Basusena diasuh dalam keluarga Adirata, sehingga dikenal dengan julukan Sutaputra (anak kusir). Namun, julukan lainnya yang lebih terkenal adalah Radheya, yang bermakna “anak Radha’ (istri Adirata). Radheya berkeinginan menjadi sorang perwira kerajaan. Radheya memutuskan belajar ilmu perang, khususnya dalam hal ilmu memanah. Selain belajar ilmu mernanah dan Parasurama, Radheya juga belajar ilmu perang dengan mengintai Drona saat sedang mengajar murid-muridnya. Meskipun berguru secara tidak resmi, kehebatan Radheya dalam memanah melebihi murid-murid resmi Drona. Bakat keterampilan ini Radheya dijuluki sebagai Karna.

Suatu ketika, terjadi uji tanding antara Kurawa dengan Pandawa sebagai murid-murid Drona, Karna berhasil menandingi kesaktian Arj una. Namun akibat Karna bukan raja atau anak raja maka Karna diusir dan arena. Kesaktian Karna diketahui oleh Duryodhana, ketua para Kurawa itu pun mengangkatnya menjadi raja Angga. Sejak itu Karna bersumpah setia kepada Duryodana sebagai balas budinya.

Beberapa waktu pun berlalu, hingga Karna tahu bahwa dirinya adalah anak Dewi Kunti dan Dewa Surya. Dewi Kunti merayu Karna agar bergabung dengan para Pandawa. Namun Karna kembali bersikap tegas dan menolak bergabung dengan pihak Pandawa. Karna merasa hanya para Korawa-lah yang selama ini menghargainya dan mengenalkannya arti “persahabatan sejati” dan jika Karna beralih ke kubu Pandawa berarti dirinya seorang pengkhianat.
Ketika Bharatayudha pecah, Karna diangkat sebagai panglima perang oleh Duryodhana setelah gugurnya Bhisma, Drona, dan sekutunya yang lain. Dalam Karnapanwa, disebutkan Karna gugur di tangan Arjuna dengan senjata Pasupati pada hari ke-17. Meskipun sewaktu di dunia Karna hidup bersama Para Korawa, namun ketika berada di akhirat jiwanya berkumpul dengan para Pandawa.

Idealisme Karna di masa kini.
Kisah Karna berhubungan dengan nilai-nilai kesetiaan yang terdapat dalam ajaran Panca Satya. Kelima nilai kesetiaan itu adalah:

Pertama, satya wacana artinya setia atau jujur dalam berkata-kata dan tidak berdusta.
Kedua, satya hredaya, artinya setia akan kata hati, berpendirian teguh dan tidak mudah terombang-ambing.
Ketiga, satya laksana, artinya setia dan jujur mengakui dan bertanggung jawab terhadap apa yang pernah diperbuat.
Keempat, satya mitra, artinya setia kepada teman atau sahabat.
Kelima, satya semaya, artinya setia kepada sumpah ataupun janji.

Pelajaran penting dari kisah Karna adalah bahwa idealisme Karna perlu ditiru oleh masyarakat. Karna tetap berpegang teguh pada pendiriannya dan tidak mudah digoyahkan oleh apapun. Para calon pemimpin, hendaknya mempunyai sifat seperti Karna yang Setia pada janji-janjinya, setia pada sahabat-sahabatnya, berpendirian teguh, serta jujur dan bertanggung jawab. Jangan hanya mengobral janji palsu yang tidak menghantarkan hasil bagi kehidupan masyarakat yang dipimpinnya.

Indonesia membutuhkan pemimpin yang mampu mengatasi masalah-masalah kenegaraan yang krusial. Rgveda X.91. 2 menyebutkan : ”janan janam janyo ndti manyate visa a kseti visyo visath visam”. Artinya, pemimpin bagaikan api, pemimpin adalah seorang tokoh yang mencintai sesama manusia dan tidak membenci siapapun. Setiap pemimpin terpilih harus mampu menempatkan diri secara tepat dan mampu memandang jelas serta membedakan antara kekuasaan dan kepemimpinan. Karena kepemimpinan tanpa kebijaksanaan akan berubah menjadi kekuasaan. Sedangkan kekuasaan berpeluang besar menimbulkan penindasan. Oleh sebab itu, Kitab Ramayana Jawa Kuno Bab I Sloka 9 menyatakan, “parartha gunawe sukhanin bhuwana”. Artinya, seorang pemimpin harus mengutamakan kepentingan umum dan berbuat untuk kebahagiaan rakyat banyak.
Penulis adalah Pemenang I Lomba Karya Ilmiah Populer 2008 (essay) Pelajar Tingkat SMP se Kota Bontang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar