Kamis, 12 Maret 2009

UNDANG-UNDANG TENTANG PORNOGRAFI

PERNYATAAN SIKAP

PARISADA HINDU DHARMA INDONESIA

ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PORNOGRAFI

Pengantar

Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pornografi ini merupakan kelanjutan dari Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Anti Pornografi dan Pornoaksi yang pernah disiapkan DPR RI. RUU tentang Anti Pornografi dan Pornoaksi sempat menimbulkan gejolak pro-kontra yang demikian masif di masyarakat dengan gelombang demonstrasi besar-besaran di penghujung tahun 2005.

Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pornografi ini merupakan RUU Inisiatif DPR RI dan saat ini tengah diminta tanggapan dari Pemerintah. Fraksi-fraksi di DPR RI pun mencoba menggali masukan dari berbagai lapisan masyarakat.

Sebagaimana telah dilaksanakan sosialisasi tentang Rancangan Undang Undang Pornografi oleh Pansus dan Panja di Kantor Meneg PP tanggal 17 September 2008 yang lalu, sikap Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat sebagai Lembaga Tertinggi Umat Hindu di Indonesia tetap sama dengan sikap kami pada waktu kami menyampaikan dengar pendapat pada tanggal 20 Nopember 2007 di Gedung DPR – RI atas undangan dari Fraksi Partai Damai Sejahtera, Surat Nomor B F.PDS/DPR-RI/ 2007 dan public hearing pada tanggal 23 Nopember 2007 atas undangan dari Sekretariat Jenderal Departemen Agama RI melalui surat Nomor SJ/B.V/1/HK. 00.1/1082/ 2007.

Materi ini merupakan Pernyataan Sikap dan Pandangan Resmi Parisada Hindu Dharma Indonesia, Majelis Tertinggi Umat Hindu Indonesia. Dengan demikian, sikap dan pandangan resmi Parisada Hindu Dharma Indonesia ini merupakan sikap dan pandangan seluruh warga-negara Negara Kesatuan Republik Indonesia yang beragama Hindu.

Pendahuluan

Perjalanan sejarah kehidupan manusia di muka bumi ini memasuki era yang disebut dengan globalisasi, yang ditunjukkan dengan melemahnya batas-batas antar-negara ( borderless world); dengan segala manfaat, tantangan, dan dampak-dampak peradaban yang dihasilkannya. Salah satu hal yang secara diam-diam melekat pada globalisasi adalah kapitalisme dengan segala sistem dan perangkat pendukungnya. Korban terdepan dari proses globalisasi ini adalah etika budaya (Prof. Dr. Ermaya Suradinata, S.Sos., SH. MS. dalam Zaitunah Subhan, 2005: xvii). Tidak ada satu negara pun yang dapat menghindarkan diri dari gelombang transformasi global ini, termasuk Indonesia. Tantangan kita bersama adalah kemauan dan meningkatkan kemampuan bersama untuk menghadapinya.

Globalisasi mengakibatkan terjadinya perubahan-perubahan yang mendasar di semua aspek kehidupan. Perubahan ini menghadapkan perangkat-perangkat budaya seperti pendidikan, ekonomi, politik, hukum, keamanan, kesenian, sistem sosial, dan juga agama pada masalah yang kompleks dan pelik. Salah satu efek negatif pengaruh globalisasi yang mengusung kebebasan adalah wilayah ”gelap” budaya, seperti masalah pornografi.

Pornografi, memang, merupakan wacana klasik yang sudah ada seumur dengan usia peradaban manusia. Pro-kontra tentang pornografi tidak kunjung usai, bahkan dapat dikatakan akan terus berlangsung. Tarik-menarik antara argumen agama-moralitas vis a vis kebebasan berekspresi- berkesenian terus berlangsung.

Diskursus tentang pornografi di Indonesia lebih kompleks lagi, karena Indonesia adalah bangsa yang majemuk dengan multikultur, sehingga standar penilaian terhadap pornografi bisa bermacam-macam dan tidak terselesaikan karena banyaknya perbedaan dan kepentingan. Sebagai contoh, adakah yang membedakan antara foto-foto ”panas” artis dengan lukisan perempuan telanjang yang dibuat pelukis? Apakah foto-foto perempuan masyarakat suku tertentu yang tidak memakai penutup payudara dapat dikategorikan sebagai pornografi?

Sikap Resmi Parisada atas RUU tentang Pornografi

Berikut ini disampaikan sikap resmi Parisada Hindu Dharma Indonesia atas Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pornografi, sebagai berikut:

1. Pertama-tama kami menyampaikan bahwa Parisada Hindu Dharma Indonesia secara tegas menolak Pornografi. Untuk itu, Parisada Hindu Dharma Indonesia mengajak seluruh warga bangsa, khususnya majelis-majelis tertinggi agama, DPR, dan Pemerintah untuk bersama-sama memberantas semua bentuk Pornografi.

2. Parisada Hindu Dharma Indonesia menyatakan keberatan dan menolak terhadap RUU tentang Pornografi ini, dengan dasar-dasar pemikiran dan pertimbangan sebagai berikut:

2.1. Naskah Akademik

Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pornografi ini tidak dilandasi dengan Naskah Akademik yang berisi kajian filosofis, teoritis, sosioligis, dan yuridis yang komprehensif. Sedangkan Naskah Akademik RUU tentang Anti Pornografi dan Pornoaksi yang pernah ada terlalu dangkal dan tidaklah cukup ilmiah untuk dapat dijadikan sebagai academical draft untuk sebuah Rancangan Undang-Undang.

Jika RUU Pornografi dipaksakan untuk disyahkan menjadi Undang-Undang maka yang akan mematuhinya adalah mereka yang menyetujuinya saja, sedangkan mereka yang lain tidak merasa wajib untuk melaksanakannya.

2.1. Substansi Masalah Pornografi

Merebaknya berbagai tindakan asusila dan meningkatnya masalah pornografi yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia menunjukkan adanya dekadensi moral masyarakat dan pergeseran nilai-nilai. Hal ini mencerminkan adanya kegagalan dalam penanaman norma-norma dan nilai-nilai luhur yang seharusnya dijadikan pegangan hidup bermasyarakat dan berbangsa. Kegagalan ini seyogyanya dikaji ulang sehingga penanaman norma-norma dan nilai-nilai luhur yang menjadi akar budaya bangsa kembali menemukan jati dirinya.

2.2. Substansi Tujuan dan Isi dari RUU

Bila dilihat dari sudut tujuan dari Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pornografi ini, sebagaimana dicantumkan dalam Pasal 2 dan Pasal 3 butir a sd d, dapat disimpulkan bahwa sebenarnya yang yang harus melaksanakan tujuan tersebut adalah dunia pendidikan dan lembaga-lembaga agama.

Bila dilihat dari sudut isi dari Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pornografi ini, secara substansial RUU tentang Pornografi ini mengandung pengertian yang rancu dan multi tafsir . Kerancuan ini terjadi karena RUU tentang Pornografi ini mencampuradukkan persoalan moral dengan persoalan hukum.

Selain itu, substansi isi RUU tentang Pornografi ini telah terdapat dalam produk perundang-undangan yang sudah ada (seperti KUHP, Undang-Undang Penyiaran, Undang-Undang Pers, Undang-Undang Perlindungan Anak).

2.3. Kerancuan-kerancuan dalam RUU yang menjadi Sumber Disintegrasi Bangsa

Kerancuan pola pikir dan konsepsi, ketidakjelasan filsafat dan semangat dasar yang melandasi RUU tentang Pornografi ini menyebabkan berbagai kerancuan isi dan ketentuan di dalamnya, bahkan sangat potensial menjadi sumber anarkisme, pemecah belah dan disintegrasi bangsa, misalnya:

Tentang Perijinan . (BAB II, Pasal 4-15): lembaga apa yang berhak memberi ijin, hal-hal apa yang boleh dan tidak boleh diijinkan, dsb.

a. Khususnya penjelasan pasal 14 c sangat keliru bila menggunakan contoh Lingga dan Yoni karena merupakan simbol sakral kreatif dari Sad Guna Brahman (Tuhan Yang Maha Kuasa Pencipta Purusa Perdana yang berevolusi menjadi seluruh bentuk ciptaanNya).

b. Tentang Kewenangan Pemerintah (BAB IV, Bagian Kesatu, Pasal 18 – 20): Isinya sangat rancu dan berpotensi disalahtafsirkan dan disalahgunakan. Bahkan pada Pasal 18 dan 20 terdapat ambivalensi antara melarang pornografi di satu pihak dan sekaligus memfasilitasi pornografi di pihak lain. Pasal 20 memungkinkan setiap Pemerintah Daerah menyusun peraturan (PERDA) yang berbeda-beda dan berpotensi terjadi penyalahgunaan akibat tafsiran yang subjektif dari masing-masing daerah.

c. Tentang Peranserta Masyarakat (BAB IV, Bagian Kedua, Pasal 21-22): Isinya sangat potensial dijadikan alasan pembenaran atas aksi-aksi kekerasan, tindakan-tindakan anarkis dan perbuatan kesewenangwenangan yang dilakukan oleh kelompok masyarakat tertentu terhadap kelompok lain.

Dampak dari Rancangan Undang-Undang tentang Pornografi

Beberapa kemungkinan dampak yang dapat terjadi bila DPR RI dan Pemerintah RI memaksakan disahkan dan diudangkannya Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pornografi ini menjadi undang-undang, di antaranya adalah:

1. DPR dan Pemerintah RI dapat digugat karena mengeluarkan undang-undang yang dapat dikategorikan sebagai sebuah produk hukum yang melanggar Hak Asazi Manusia (HAM) dan bertentangan dengan hukum dasar serta perundang-undangan yang lebih tinggi.

2. Keanekaragaman budaya (multikulturalisme) bangsa Indonesia yang sampai saat ini masih eksis dan dijunjung tinggi oleh kelompok masyarakat di berbagai daerah, maka RUU ini sangat potensial menghancurkan kearifan budaya-budaya lokal.

3. Kehidupan sosial masyarakat yang kini berada ditengah tekanan dan kesulitan ekonomi, akan memicu aksi-aksi kekerasan, tindakan-tindakan anarkis dan perbuatan kesewenang-wenangan serta menyulut konflik horisontal di dalam masyarakat.

4. Kemungkinan akan timbul friksi dan benih-benih perpecahan dalam masyarakat yang memperlemah kesatuan dan persatuan bangsa, bahkan menimbulkan disintegrasi bangsa Indonesia.

Masukan dan Seruan.

Dengan tetap berpikir dan bersikap positif-konstruktif , dan ditujukan semata-mata demi utuh tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berasaskan Pancasila dengan

rakyat yang sehat secara fisik, mental, sosial dan spiritual, Parisada Hindu Dharma Indonesia menyampaikan masukan substantif dan seruan sebagai berikut:

1. Pemerintah melalui Departemen Agama dan Departemen Pendidikan Nasional, hendaknya mencanangkan strategi dan membuat program yang berkesinambungan seperti ”Gerakan Nasional Pembentukan Moral dan Pembangunan Karakter Bangsa”, dengan melibatkan semua komponen bangsa.

2. Substansi isi RUU tentang Pornografi ini sudah terdapat dalam produk perundang undangan sebelumnya (antara lain: KUHP, Undang-Undang Penyiaran, Undang-Undang Pers, Undang-Undang Perlindungan Terhadap Perenpuan dan Anak). DPR dan Pemerintah hendaknya melakukan revisi atas Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan agar dilaksanakan secara konsisten.

3. Agar mengefektifkan upaya penegakan hukum dan dilaksanakan secara serius dan berkesinambungan.

4. Mengajak seluruh warga bangsa untuk bersama-sama meningkatkan penghargaan terhadap harkat dan martabat perempuan.

5. Agar seluruh warga bangsa tidak mempergunakan kebebasan berekpresi dalam berkesenian sebagai pembenaran untuk melakukan penyebaran p ornografi.

Demikian pernyataan sikap dan masukan substantif atas Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pornografi, agar menjadi masukan yang berguna bagi pembangunan manusia Indonesia seutuhnya demi tegaknya persatuan dan kesatuan bangsa.

Jakarta, 18 September 2008

Pengurus Harian Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat

Ketua Umum,

DR. I Made Gde Erata, MA

Sekretaris Umum,

Kol Inf. (Purn.) I Nengah Dana, S.Ag.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar