Bhagavad-Gita II.15
yam hi na vyathayanty ete
puruşam puruşarşabha,
sama-duhkha-sukham dhīram
so ‘mŗtatvāya kalpate.
Sesungguhnya orang yang teguh pikirannya, yang merasakan sama, tetap tenang dalam kesusahan dan kesenangan, orang seperti inilah yang patut memperoleh kehidupan abadi (kebahagiaan sempurna).
Kehidupan abadi berbeda dengan mengatasi kematian yang diberikan pada setiap penjelamaan. Itu merupakan pelampauan terhadap kelahiran dan kematian. Selama kita masih menjadi sasaran kesedihan dan penderitaan, terganggu oleh kejadian-kejadian material, yang seharusnya diatasi, menunjukkan bahwa kita masih akan menjadi korban dari avidya atau kebodohan.
Bhagavad-Gita II.28
avyaktādīni bhūtāni
vyakta-madhyāni bharata,
avyakta-nidhanāny eva
tatra kā paridevanā.
Semua makhluk ciptaan itu pada mulanya tidak kelihatan, terlahir pada saat pertengahan, dan pada akhirnya lenyap dari wujudnya. Mengapa harus menyesali (bersedih) karenanya.
Bhagavad-Gita II.29
āścarya-vad vadati tathaiva cānyah,
āścarya-vac caiman anyah śŗņoti
śrutvāpy enam veda na caiva kaścit.
Seseorang melihat kebesaran-Nya, yang lain mengatakan tentang keagungan-Nya, yang lain mendengar tentang kemuliaan-Nya, namun setelah mendengar-Nya, tak seorang pun memahami-Nya.
Walaupun kebenaran tentang Sang Diri merupakan hak bebas dari umat manusia, itu hanya dapat dicapai oleh beberapa orang saja, yang berkehendak untuk memberikan nilai pada pendisiplinan diri, kemantapan dan ketidakterikatan. Walaupun kebenaran itu terbuka bagi semua orang, banyak dari mereka tak merasa perlu untuk mencarinya. Bagi mereka yang merasa perlu, banyak dari mereka merasa takut dengan kesulitan-kesulitan yang akan dijumpainya. Hanya sedikit jiwa yang berhasil dalam menghadapi mara bahaya semacam itu dan mencapai tujuannya.