Denpasar (ANTARA News) - Lahirnya semboyan Bhineka Tunggal Ika yang terpampang melengkung pada sehelai "pita" yang dicengkram kedua kaki burung garuda lambang negara RI, terinspirasi dari buku Sutasoma karya gemilang Mpu Tantular.
"Wawasan pemikiran pujangga besar yang hidup di jaman kejayaan Kerajaan Majapahit itu, terbukti telah melompat jauh ke depan. Nyatanya, semboyan itu hingga sekarang masih relevan terhadap perkembangan bangsa, negara dan bahkan kemajuan iptek yang pesat di era global," kata Ketua Sekolah Tinggi Agama Budha Syailendra Salatiga, Jawa Tengah, Hastho Bramantyo MA di Denpasar, Selasa.
Ketika tampil sebagai pembicara pada seminar nasional "Sutasoma Lintas-agama dan Landasan Teologi Kerukunan", ia mengatakan, sebanyak 17 huruf dalam tiga kata Bhineka Tunggal Ika, bermakna mendalam yang mampu menggambarkan secara utuh dan menyeluruh hakekat keberagaman jagat semesta raya.
Karya besar itu lahir melalui dinamika proses perenungan dan kristalisasi pemikiran yang panjang, setidaknya membutuhkan waktu satu dasawarsa atau sepuluh tahun.
Konsep dan formulasi Bhineka Tunggal Ika hasil buah pemikiran gemilang Mpu Tantular, dicetuskan tujuh abad silam dalam karya berjudul Kekawin (pembacaan ayat-ayat suci agama Hindu-Budha) Purusadasanta, atau kini lebih populer dengan sebutan Kekawin Sutasoma.
Pada seminar nasional yang digelar Program Pascasarjana Institut Hindu Dharma Negeri (IHDN) Denpasar itu, Hastho Bramantyo menjelaskan, Kekawin Sutasoma menempati posisi penting bersama dengan karya lainnya seperti Pararaton dan Negara Kertagama.
Kekawin Sutasoma berfungsi sebagai ilmu tentang keagamaan atau teologi bagi Raja Rajasanegara pada zaman kerajaan Majapahit. Bagi Indonesia modern, kitab itu juga memberikan inspirasi dan tempat ditemukannya moto Bhineka Tunggal Ika.
Sejumlah peneliti dalam dan luar negeri belum bisa menemukan sumber yang definitif tentang Kekawin Sutasoma, namun yang jelas kekawin tersebut bercorak Budhis.
Peneliti Sutasoma tersebut antara lain Ida Bagus Sugriwa (1956), Eisink (1967), Soewito Santoso (1975) dan Zoetmulder (1983), tutur Hastho Bramantyo.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar