NusaBali – Rabu, 13 Mei 2009.
Oleh : I Gede Suwantana*
Aho janasamuho’pi na dvaitam pasyato mama,
Aranyamiva sambrtam kva ratim karavânyaham,
(Astavakra Samhita, II. 21.)
Oh, Aku tidak menemukan adanya dualitas. Meskipun di dalam keramaian manusia, semuanya telah menjadi seperti di Hutan rimba. Untuk apa harus Aku mengikat diri sendiri?
TELAH menjadi seperti di hutan rimba artinya bahwa kita merasa mutlak sendiri. Ke mana pun kita pergi, keheningan diri tidak pernah terganggu. Keributan, kekacauan, dan keguncangan duniawi tidak mempengaruhi kesendirian, keheningan kita.
Bagaimana mungkin ada gangguan, sebab yang kita lihat hanya kesatuan di mana-mana. Kita merasa terganggu karena ada sesuatu di luar diri kita yang mengganggu. Gangguan ada karena kita ada dalam dualitas, ada diri yang terganggu dan ada sesuatu lain yang mengganggu. Tetapi jika yang ada hanya satu, jika hanya Aku saja yang eksis, maka mustahil
datangnya gangguan, dan apa atau dan siapa gangguan itu datang?
Bagi orang yang telah mencapai Pengetahuan-Diri, yang telah berada dalam Kesadaran Ilahi, maka, rasa kesatuan ini telah menjadi nature-nya. Ketika dualitas telah dapat kita lalui, maka panas-dinginnya kehidupan tidak akan mempengaruhi kita lagi. Panas dingin itu telah lenyap bersama dualitas itu. Tidak ada orang yang mampu mengganggu kita lagi, sebab mereka yang ada di luar kita sesungguhnya bukan berbeda dari kita, kita merasa mereka adalah bagian dari kita sendiri. Emosi kita juga akan stabil, sebab keterikatan akan sesuatu tidak ada lagi. Sesuatu yang di luar telah tiada atau ia ada tetapi ilusi, tidak nyata, hanya bayangan. Kita tidak mungkin marah, sebab untuk marah kita memerlukan objek untuk dimarahi. Saat kita merasa kesatuan, segala sesuatunya hanya satu, hanya Sang Diri eksis, maka marah tidak akan mungkin muncul.
Lalu apakah dengan kita telah mencapai Pengetahuan Diri ini, kita tidak memiliki marah lagi, kita tidak memiliki emosi lagi? Karena kita telah mantap dalam kesendirian, tidak terganggu dengan keramaian, apakah berarti kita tidak perlu berinteraksi sosial, karena mereka sudah tidak bisa menyentuh nasa kita lagi? Alangkah kacaunya hidup ini jika orang hanya sibuk dengan kesendiriennya, tanpa peduli dengan orang lain?
Bukan demikian maksud pernyataan ini. Pencapaian akan Pengetahuan-Diri bukan berarti menghilangkan kesempurnaannya. Rasa marah, cinta, atau bentuk-bentuk emosi lainnya, demikian juga keinginan kita untuk tetap berinteraksi sosial, rasa kebersamaan adalah pengisi sel-sel kelengkapan alam semesta. Segala sesuatu yang ada di dunia ini memiliki fungsi masing-masing yang saling melengkapi satu dengan yang lainnya sehingga proses kehidupan bisa berjalan dengan baik. Alam semesta ini berkembang dengan sempurna. Pencapaian akan Pengetahuan Diri tidak menghilangkan peran salah satu atau beberapa fungsi dari sistem ini. Justeru ketika kita mencoba menghilangkan salah satunya atau beberapa bagiannya, sistem ini tidak dapat berjalan dengan maksimal.
Jadi di sini, rasa marah tetap berada dalam kesempurnaannya dan kemuliaannya. Marah juga ada dalam diri orang yang telah mencapai Kesadaran Tertinggi, tetapi berbeda dengan kemarahan yang dimiliki orang biasa. Bagi orang yang telah tercerahi, marah yang ditampilkannya hanya sebuah lakon, hanya drama, sedangkan marah bagi orang
kebanyakan, betul-betul membelenggunya. Dia tidak dapat membedakan antara kemarahan den dirinya. Dia benar-benar terindentifikasi dengan kemarahan itu. Jadi bagi mereka yang telah mencapai Pengetahuan Diri ini tidak pernah terpengaruh dengan apa pun yang terjadi di luar dirinya sebab dualitas telah lenyap baginya, objek yang mempengaruhi dirinya telah tiada. Dan apa yang terjadi hanyalah sebuah Drama yang mesti dilakonkan. Sedangkan orang kebanyakan, terikat dengan kemarahan itu. Mereka jatuh oleh kemarahan itu. Mereka terindentifikasi oleh kemarahan itu. Kemarahan adalah identitasnya. Mereka tidak mengerti bahwa semuanya hanyalah lakon.
Demikian, kebenaran tidak akan berubah, dan tidak ada yang mesti diubah untuk berada dalam capaian Pengetahuan-Diri. Saat kita menyadari semua itu, maka kita mengenti semuanya hanyalah drama. Dan ketika kita mengerti bahwa hidup hanya drama, maka kita akan mampu merasakan kesatuan itu. Kita telah mantap berada dalam kesendirian. Tetapi, bagi mereka yang tidak mengerti, maka yang terjadi adalah kebalikannya, selamanya terbelenggu oeh dualitas kehidupan. * Penulis, Direktur Irndra Udayana Institute of Vedanta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar