Selain tak mencantumkan agama atau dituliskan beragama "lainnya" di KTP, sebagian masyarakat adat juga mengaku mengalami hambatan dalam mendapatkan akses fasilitas publik. Sesepuh masyarakat adat Merapu, Sumba Barat, NTT, Elmawo Mudde (70-an tahun) menceritakan, anak-anaknya sempat mengalami kesulitan saat akan masuk ke sekolah.
Persyaratan memasuki pendidikan formal, menyertakan akte kelahiran dan surat baptis (bagi yang beragama Nasrani). "Anak-anak tidak punya pilihan, karena harus sekolah. Jadi tipu diri, dipaksa pilih agama supaya bisa sekolah. Sama juga kalau mau jadi PNS (pegawai negeri sipil)," kata Elma, yang biasa disapa Mama, yang dijumpai saat menghadiri Seren Taun 2008 di Cigugur, Kuningan, Jawa Barat.
Steering Committee Aliansi Nasional Bhineka Tunggal Ika (ANBTI) Emmy Sahertian mengatakan, selain kesulitan saat akan mengurus KTP, sejumlah masyarakat adat juga memilih untuk membuat akte kelahiran di luar nikah bagi anaknya. Sebab, pernikahan yang dilakukan secara adat menurut kepercayaan yang mereka anut, tak dicatatkan secara legal di catatan sipil.
"Hak hidup itu kan sebenarnya melekat pada hak asasi. Misalnya hak menikah. Tapi gara-gara administrasi kependudukan, pernikahannya tidak diakui. Anak-anaknya kemudian ikut terdampak pada akte kelahirannya karena orangtuanya tidak punya akte kawin," ujar Emmy.
Pemerintah, menurut Emmy, selama ini hanya memahami budaya terbatas pada seni, artefak dan lokasinya. Padahal, di tengah masyarakat adat sendiri masih melekat agama dan kepercayaan lokal yang dianut masyarakat setempat. "Pemerintah tidak melihat bahwa manusia dan kepercayaan juga merupakan satu kesatuan dari budaya yang tidak bisa diabaikan. Bagaimanapun, budaya tidak bisa terlepas dari spiritualitas budaya. Selama ini, eksotisme budaya diekspos tapi spiritualitas budaya diabaikan. Masih banyak masyarakat adat kita yang hidup dengan identitas yang sangat kuat, dengan kepercayaan agama lokal mereka," papar Emmy.
Kepercayaan masyarakat adat, selama ini hanya tercatat di Departemen Kebudayaan dan Pariwisata. Hal inilah yang kemudian membuat dikotomi antara agama resmi yang tercatat di Departemen Agama, dengan agama lokal yang dianut masyarakat adat.
Apa harapan mereka?
Meski terbilang sebagai kaum minoritas, masyarakat adat hidup berdampingan secara damai dengan masyarakat di mana mereka tinggal. Perbedaan keyakinan, selama ini tak menimbulkan hambatan dalam bersosialisasi.
Salah satu anggota Komunitas Masyarakat Adat Dayak Hindu Budha Bumi Segandu Indramayu (Dayak Losarang), Dedi mengisahkan, masyarakat Losarang yang merupakan basis komunitasnya menerima mereka dengan baik.
"Masyarakat sudah menerima kami dengan baik, dan sosialisasinya tidak ada masalah. Kami saling memberi, saling membantu. Hanya pemerintah saja yang tidak memberikan keadilan bagi kami. Kami tidak bicara kebenaran, karena kebenaran itu milik Tuhan," kata Dedi.
Hal serupa juga diungkapkan Mama. Di Sumba Barat, yang 60 persen masyarakatnya penganut Merapu, hidup berdampingan secara damai dengan masyarakat setempat yang beragama lain. "Enam agama bukan berarti ada 6 Tuhan, Tuhan tetap satu. Hanya cara kita menyembah berbeda. Warna kulit boleh beda, tapi kita semua satu, orang Indonesia. Kalau pemerintah menerima (penganut kepercayaan), terima kasih. Harapan saya, kami tidak perlu diakui, tapi jangan paksa pilih agama. Kalau bisa, tidak perlu ada kolom agama di KTP, sehingga tidak hambat kami," ujar Mama.
"Kami orang Indonesia, hanya mengharapkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia, seperti dijanjikan dalam Pancasila," kata Dedi.
Inggried Dwi Wedhaswary
Tidak ada komentar:
Posting Komentar