Bagi umat yang ada di jenjang hidup Grhasta Asrama, Karma Yoga lebih mendominasi. Kerja keras dan tidak malas merupakan kewajiban dan kebajikan yang patut dilakukan. Tuhan hanya menyayangi mereka yang suka bekerja keras dan memiliki ketekunan, bukan mereka yang malas, dan bukan mereka yang menyepelekan segala sesuatu. Orang yang suka bekerja keras dan memiliki ketekunan akan mencapai keberhasilan. Hal ini sangat relevan dengan perkembangan dunia modern.
Siapa saja yang tekun bekerja, tekun belajar, berdisiplin dan memiliki kualitas SRADDHA yang mantap akan sukses dalam berbagai aspek kehidupan. Demikian pula orang yang tidak mengenal lelah, tidak cepat putus asa akan memperoleh kecukupan lahir dan batin. Tuhan selalu menolong orang yang suka bekerja keras.
KURVAM EVEHA KARMANI JIJIVISET SATAM SAMAH. EVAM TVAYI NANYATHETO-ASTI NA KARMA LIPYATE NARE (Yajurveda XI.2) ... Orang seharusnya suka hidup di dunia ini dengan melakukan kerja keras selama seratus tahun. Tidak ada cara yang lain bagi keselamatan seseorang. Suatu tindakan yang tidak mementingkan diri sendiri dan tidak memihak, menjauhkan pelaku dari keterikatan.
ICCHANTI DEVAH SUNVANTAM NA SVAPNAYA SPRHAYANTI. YANTI PRAMADAM ATANDRAH (Atharvaveda XX.18.3) ... Para Dewa menyukai orang-orang yang bekerja keras. Para Dewa tidak menyukai orang-orang yang bermalas-malasan. Orang-orang yang selalu waspada mencapai kebahagiaan yang agung.
ASMANVATI RIYATE SAM RABHADHVAM UTTISHATA PRA TARATA SAKHAYAH. ATRA JAHAMA YE ASAN ASEVAH SIVAN VAYAM UTTAREMABHI VAJAN (Rgveda X.53.8) ... Ya para sahabat, dunia yang penuh dosa dan kesedihan sedang lewat bagaikan sebuah sungai, alirannya yang dihalangi oleh batu-batu besar yang berat. Tekunlah, bangkit dan seberangilah, tinggalkanlah pengikut yang tak berbudi. Seberangilah sungai kehidupan ini utk pencapaian kesejahteraan dan kemakmuran.
MA SREDHATA SOMINO DAKSATA MAHE KRNUDHVAM RAYA ATUJE. TARANIR IJ JAYATI KSETI PUSYATI NA DEVASAH KAVATNAVE (Rgveda VII.32.9) ... Wahai orang-orang yang berpikiran mulia, janganlah tersesat. Tekunlah dan dengan tekad yang keras untuk mencapai tujuan-tujuan yang mulia. Bekerjalah dengan tekun untuk memperoleh kecukupan hidup. Orang yang bersemangat dan tekun akan berhasil, hidup menikmati kemakmuran. Para Dewa tidak pernah menolong orang yang bermalas-malasan.
ATANDRASO AVRKA ASRAMISTHAH (Rgveda IV.4.12) ... Hanya orang-orang yang giat, tulus hati dan tak kenal lelah berhasil dalam kehidupan.
NASUSVER APIR NA SAKHA NA JAMIH (Rgveda IV.25.6) ... Tuhan bukanlah sahabat, kerabat atau sanak saudara dari orang yang malas.
Sabtu, 31 Oktober 2009
Makna Hari Ulihan
Minggu, 18 Oktober ini bertepatan dengan Tilem Sasih Kapat. Umat Hindu yang masih berada dalam suasana hari raya, pada hari Minggu atau Radite Wage Kuningan menyebutnya sebagai hari Ulihan. Secara umum, umat menghaturkan canang raka di merajan atau di kemulan, mohon keselamatan dan panjang umur.
Di daerah tertentu, hari Ulihan termasuk istimewa. Bagi umat di Desa Pujungan, Kec. Pupuan (Tabanan), umat membuat "intil", yaitu semacam ketupat yang dibungkus dengan daun bambu. Pagi-pagi sekitar pukul 05.00 Wita, intil itu dihaturkan di bale adat atau di tempat tidur (bagi yang tidak punya bale adat). Intil itu ditaruh di atas dulang bersama lauk pauknya. Sesajen itu dihaturkan kehadapan pitara-pitari (dewata-dewati) atau roh leluhur, baik yang belum maupun yang sudah diaben. Pada hari Ulihan, umat Hindu memiliki kepercayaan bahwa roh leluhur pulang dan oleh karenanya dihaturkan sesajen. Pada hari Redite ini, beliau kembali ke alam niskala setelah memberikan berkat kepada turunannya.
Hari Ulihan ini memiliki makna, bahwa umat manusia hendaknya selalu ingat kepada roh leluhur yang telah membuat manusia ini berkembang. (Wayan Supartha).
Di daerah tertentu, hari Ulihan termasuk istimewa. Bagi umat di Desa Pujungan, Kec. Pupuan (Tabanan), umat membuat "intil", yaitu semacam ketupat yang dibungkus dengan daun bambu. Pagi-pagi sekitar pukul 05.00 Wita, intil itu dihaturkan di bale adat atau di tempat tidur (bagi yang tidak punya bale adat). Intil itu ditaruh di atas dulang bersama lauk pauknya. Sesajen itu dihaturkan kehadapan pitara-pitari (dewata-dewati) atau roh leluhur, baik yang belum maupun yang sudah diaben. Pada hari Ulihan, umat Hindu memiliki kepercayaan bahwa roh leluhur pulang dan oleh karenanya dihaturkan sesajen. Pada hari Redite ini, beliau kembali ke alam niskala setelah memberikan berkat kepada turunannya.
Hari Ulihan ini memiliki makna, bahwa umat manusia hendaknya selalu ingat kepada roh leluhur yang telah membuat manusia ini berkembang. (Wayan Supartha).
Umat Hindu Perlu Miliki ‘’Widyalaya’’
Denpasar (Bali Post) - Pendirian widyalaya—SD-SMP dan SMA yang bernuansa Hindu mesti terus diperjuangkan agar Hindu memiliki lembaga pendidikan keagamaan di tingkat dasar dan menengah. Selama ini Hindu baru memiliki lembaga pendidikan tinggi Hindu yang jumlahnya juga masih terbatas. Bahkan, yang berstatus negeri baru hanya beberapa, misalnya di Bali hanya IHDN Denpasar, selebihnya swasta. Kehadiran widyalaya ini penting, agar bisa nyambung dengan lembaga pendidikan Hindu di atasnya. Hal itu dikatakan dosen IHDN Denpasar Dr. I Wayan Suarjaya, M.Si. Minggu (18/10).
Dengan semakin banyak Hindu memiliki lembaga pendidikan keagamaan, diharapkan terjadi peningkatan kualitas SDM Hindu di bidang agama. Di samping lebih terbukanya peluang formasi bagi lulusan lembaga pendidikan tinggi keagamaan Hindu untuk menjalankan swadharmanya di bidang pendidikan, penyuluhan dan sebagainya. Jika lembaga pendidikan keagamaan itu berdiri, tentu kucuran dana dari pusat juga lebih dirasakan oleh umat Hindu dalam rangka pembangunan SDM Hindu. Selain itu, jumlah guru yang diperlukan juga semakin banyak. Selama ini pemberian quota pengangkatan guru Hindu, lebih didasarkan pada jumlah lembaga pendidikan keagamaan. Karena itu wajar, formasi yang diberikan amat minim, termasuk anggaran yang dikucurkan. ‘’Widyalaya itu perlu kita miliki, terlebih payung hukumnya telah ada,’’ kata Suarjaya yang mantan Dirjen Bimas Hindu dan Buddha Depag RI.
’’Jika umat Hindu memiliki banyak lembaga pendidikan bernuansa Hindu, aksesibilitas umat untuk mendalami pendidikan keagamaan akan semakin luas. Di samping lebih tersedianya formasi bagi para lulusan lembaga pendidikan tinggi Hindu untuk menjalankan swadharma sebagai penyayah umat. Ini penting dalam rangka lebih memberdayakan SDM Hindu,’’ ujarnya.
Kakanwil Agama Propinsi Bali IGK Sutha Yasa mengatakan, perjuangan pendirian widyalaya-- SD, SMP dan SMA bernuansa Hindu—tampaknya mengalami kebuntuan karena tidak mendapat payung hukum. Karena itu yang dikembangkan adalah pasraman formal. ‘’Widyalaya yang sejajar dengan madrasah itu tidak mendapat payung hukum. Karena itu yang kita kembangkan adalah pasraman formal, yang pendiriannya telah memiliki payung hukum yakni PP No. 55/2007. Tinggal menunggu Permenag dan dilanjutkan dengan Peraturan Dirjen Bimas Hindu,’’ katanya. Dengan demikian nantinya umat Hindu memiliki Adi Widya Pesraman, Pratama Widya Pasraman, Madyama Widya Pasraman, Utama Widya Pasraman dan Maha Widya Pasraman. (08)
Dengan semakin banyak Hindu memiliki lembaga pendidikan keagamaan, diharapkan terjadi peningkatan kualitas SDM Hindu di bidang agama. Di samping lebih terbukanya peluang formasi bagi lulusan lembaga pendidikan tinggi keagamaan Hindu untuk menjalankan swadharmanya di bidang pendidikan, penyuluhan dan sebagainya. Jika lembaga pendidikan keagamaan itu berdiri, tentu kucuran dana dari pusat juga lebih dirasakan oleh umat Hindu dalam rangka pembangunan SDM Hindu. Selain itu, jumlah guru yang diperlukan juga semakin banyak. Selama ini pemberian quota pengangkatan guru Hindu, lebih didasarkan pada jumlah lembaga pendidikan keagamaan. Karena itu wajar, formasi yang diberikan amat minim, termasuk anggaran yang dikucurkan. ‘’Widyalaya itu perlu kita miliki, terlebih payung hukumnya telah ada,’’ kata Suarjaya yang mantan Dirjen Bimas Hindu dan Buddha Depag RI.
’’Jika umat Hindu memiliki banyak lembaga pendidikan bernuansa Hindu, aksesibilitas umat untuk mendalami pendidikan keagamaan akan semakin luas. Di samping lebih tersedianya formasi bagi para lulusan lembaga pendidikan tinggi Hindu untuk menjalankan swadharma sebagai penyayah umat. Ini penting dalam rangka lebih memberdayakan SDM Hindu,’’ ujarnya.
Kakanwil Agama Propinsi Bali IGK Sutha Yasa mengatakan, perjuangan pendirian widyalaya-- SD, SMP dan SMA bernuansa Hindu—tampaknya mengalami kebuntuan karena tidak mendapat payung hukum. Karena itu yang dikembangkan adalah pasraman formal. ‘’Widyalaya yang sejajar dengan madrasah itu tidak mendapat payung hukum. Karena itu yang kita kembangkan adalah pasraman formal, yang pendiriannya telah memiliki payung hukum yakni PP No. 55/2007. Tinggal menunggu Permenag dan dilanjutkan dengan Peraturan Dirjen Bimas Hindu,’’ katanya. Dengan demikian nantinya umat Hindu memiliki Adi Widya Pesraman, Pratama Widya Pasraman, Madyama Widya Pasraman, Utama Widya Pasraman dan Maha Widya Pasraman. (08)
Buku Bhagavad Gita Terbesar Raih MURI
Kamis, 22 Oktober 2009
NUSA DUA, KOMPAS.com--Peluncuran buku Bhagavad Gita terbesar yang diselenggarakan di Nusa Dua, Bali, Rabu, mampu meraih penghargaan dari Museum Rekor Dunia Indonesia (MURI).
Bhagavad Gita terbesar itu adalah kitab suci umat Hindu berbobot mencapai satu ton dengan panjang 1,5 meter kali 1,25 meter dan tebal 459 halaman.
Penggagas pembuatan buku itu adalah Ir I Made Mandra, direktur utama Pengembangan Pariwisata Bali (Bali Tourism Development Corporation/BTDC) dengan Dr I Gusti Ngurah Arya Vedakarna WS, presiden The World Hindu Youth Organisation (WHYO).
Penyerahan sertifikat MURI nomor register 3939 dari Senior Manager MURI Paulus Pangkas dilakukan pada penutupan Nusa Dua Fiesta (NDF) di Nusa Dua, Bali, Rabu malam.
Dirut BTDC I Made Mandra mengatakan pembuatan buku besar Bhagavad Gita ini merupakan wujud terima kasih BTDC kepada masyarakat Bali yang sejak berabad-abad telah memelihara dan mengamalkan nilai-nilai Bhagavad Gita yang sangat indah dan mulia itu di dalam kehidupan sehari-hari.
"Budaya yang religius, ramah, cinta damai yang dijiwai oleh nilai-nilai sastra suci Hindu, merupakan aset yang sangat berharga bagi kepariwisataan Bali," katanya.
Dia berharap keberadaan buku tersebut menarik perhatian generasi muda untuk menikmati keindahannya. Kitab tersebut memuat dialog spiritual antara Sri Krisna dengan kesatria Arjuna di atas kereta berkuda di Kuruksetra atau medan perang Bharata Yudha.
Arjuna adalah simbol Ksatria dengan kecerdasan intelektual dan emosional yang luar biasa, namun di medan perang, di saat-saat mengambil keputusan penting, dia diliputi kebimbangan memerangi musuh-musuhnya, oleh karena musuh tersebut adalah keluarga besar Bharata sendiri.
Dikatakannya, dialog spiritual Sri Kresna-Arjuna ribuan tahun silam tersebut merupakan cahaya suci yang memotivasi umat manusia untuk terus menerus memerangi sifat-sifat buruk dan menegakkan kebenaran, kebijakan dan keharmonisan.
Presiden WHYO Arya Vedakarna mengatakan Bhagavad Gita adalah sebuah sabda dan nyanyian suci Tuhan yang dapat memberikan jawaban dan juga kekuatan terhadap generasi dunia yang kini sedang mengalami krisis multidimensi.
Ia mengatakan peradaban dunia dari hari ke hari semakin jauh dari nilai-nilai kebenaran dan kesucian.
"Menjaga nilai-nilai kesucian menjadi tugas generasi muda Hindu melalui pelestarian, konservasi, pengkajian dan pendalaman isi dan telaah kitab suci Hindu," kata Vedakarna yang juga rektor Universitas Mahendradatta Bali.
Vedakarna menyebutkan buku tersebut adalah kitab revolusioner yang diturunkan oleh Tuhan kepada umat manusia dan menariknya kitab itu tidak dipelajari umat Hindu, tapi oleh mereka dari lintas agama, kepercayaan dan lintas spiritual.
"Dari sinilah bisa melihat bahwa Kitab Bhagavad Gita adalah ’the way of life’ bagi umat," katanya.
Sementara Bendesa Agung Mejelis Utama Desa Pakraman (MUDP) Provinsi Bali Jro Gde Putu Suena menyambut baik peluncuran kitab suci umat Hindu yang merupakan sebuah karya maha agung.
Dia mengatakan kitab suci Bhagavad Gita adalah pancaran sinar suci Tuhan, yang patut dipelajari dan dipahami. "Buku besar ini adalah simbol yang mulia, sehingga wajar dibaca dan dibaca lagi," kata Putu Suena.
NUSA DUA, KOMPAS.com--Peluncuran buku Bhagavad Gita terbesar yang diselenggarakan di Nusa Dua, Bali, Rabu, mampu meraih penghargaan dari Museum Rekor Dunia Indonesia (MURI).
Bhagavad Gita terbesar itu adalah kitab suci umat Hindu berbobot mencapai satu ton dengan panjang 1,5 meter kali 1,25 meter dan tebal 459 halaman.
Penggagas pembuatan buku itu adalah Ir I Made Mandra, direktur utama Pengembangan Pariwisata Bali (Bali Tourism Development Corporation/BTDC) dengan Dr I Gusti Ngurah Arya Vedakarna WS, presiden The World Hindu Youth Organisation (WHYO).
Penyerahan sertifikat MURI nomor register 3939 dari Senior Manager MURI Paulus Pangkas dilakukan pada penutupan Nusa Dua Fiesta (NDF) di Nusa Dua, Bali, Rabu malam.
Dirut BTDC I Made Mandra mengatakan pembuatan buku besar Bhagavad Gita ini merupakan wujud terima kasih BTDC kepada masyarakat Bali yang sejak berabad-abad telah memelihara dan mengamalkan nilai-nilai Bhagavad Gita yang sangat indah dan mulia itu di dalam kehidupan sehari-hari.
"Budaya yang religius, ramah, cinta damai yang dijiwai oleh nilai-nilai sastra suci Hindu, merupakan aset yang sangat berharga bagi kepariwisataan Bali," katanya.
Dia berharap keberadaan buku tersebut menarik perhatian generasi muda untuk menikmati keindahannya. Kitab tersebut memuat dialog spiritual antara Sri Krisna dengan kesatria Arjuna di atas kereta berkuda di Kuruksetra atau medan perang Bharata Yudha.
Arjuna adalah simbol Ksatria dengan kecerdasan intelektual dan emosional yang luar biasa, namun di medan perang, di saat-saat mengambil keputusan penting, dia diliputi kebimbangan memerangi musuh-musuhnya, oleh karena musuh tersebut adalah keluarga besar Bharata sendiri.
Dikatakannya, dialog spiritual Sri Kresna-Arjuna ribuan tahun silam tersebut merupakan cahaya suci yang memotivasi umat manusia untuk terus menerus memerangi sifat-sifat buruk dan menegakkan kebenaran, kebijakan dan keharmonisan.
Presiden WHYO Arya Vedakarna mengatakan Bhagavad Gita adalah sebuah sabda dan nyanyian suci Tuhan yang dapat memberikan jawaban dan juga kekuatan terhadap generasi dunia yang kini sedang mengalami krisis multidimensi.
Ia mengatakan peradaban dunia dari hari ke hari semakin jauh dari nilai-nilai kebenaran dan kesucian.
"Menjaga nilai-nilai kesucian menjadi tugas generasi muda Hindu melalui pelestarian, konservasi, pengkajian dan pendalaman isi dan telaah kitab suci Hindu," kata Vedakarna yang juga rektor Universitas Mahendradatta Bali.
Vedakarna menyebutkan buku tersebut adalah kitab revolusioner yang diturunkan oleh Tuhan kepada umat manusia dan menariknya kitab itu tidak dipelajari umat Hindu, tapi oleh mereka dari lintas agama, kepercayaan dan lintas spiritual.
"Dari sinilah bisa melihat bahwa Kitab Bhagavad Gita adalah ’the way of life’ bagi umat," katanya.
Sementara Bendesa Agung Mejelis Utama Desa Pakraman (MUDP) Provinsi Bali Jro Gde Putu Suena menyambut baik peluncuran kitab suci umat Hindu yang merupakan sebuah karya maha agung.
Dia mengatakan kitab suci Bhagavad Gita adalah pancaran sinar suci Tuhan, yang patut dipelajari dan dipahami. "Buku besar ini adalah simbol yang mulia, sehingga wajar dibaca dan dibaca lagi," kata Putu Suena.
Rayakan Hari Kuningan, KBRI Stockholm Jadi Tempat Sembahyang
Laporan dari Stockholm
Eddi Santosa - detikNews
Stockholm - Puluhan warga Indonesia dan Swedia penganut Hindu Bali menyulap KBRI Stockholm menjadi tempat sembahyang untuk merayakan Hari Kuningan. Di Swedia gedung KBRI ini menjadi etalase kerukunan beragama.
Perayaan Hari Kuningan, yakni hari ke-10 puncak rangkaian perayaan Galungan, digelar Sabtu (24/10/2009) lalu. KBRI Stockholm menjadi meriah dengan aneka sesajian dari berbagai jenis buah-buahan, bunga, dan makanan.
"Selanjutnya para penganut agama ini secara khidmat melakukan sembahyang," tutur Sekretaris I Pensosbud KBRI Stockholm Dody Kusumonegoro kepada detikcom petang ini.
Seusai sesi ritual, warga memeriahkan perayaan dengan berbagai hiburan. Mereka menyanyi dan membawakan tari-tarian Bali yang menambah kesemarakan perayaan Galungan dan Kuningan.
Di bawah kepemimpinan Dubes Linggawaty Hakim, KBRI Stockholm memang menjadi rumah nyaman bagi semua pemeluk agama sesuai falsafah Pancasila dan mereka bebas menyelenggarakan perayaan hari-hari besar agama masing-masing.
"Saya senang warga merayakan Idul Fitri, Natal, Galungan-Kuningan, dan lainnya di KBRI. Dan rupanya ini menjadi perhatian menarik di mata masyarakat Swedia," ujar Linggawaty.
Pemeluk Hindu Bali di Indonesia saat ini tercatat ada 1,8% dari total 230 juta penduduk Indonesia yang mayoritas (87%) muslim. Agama hanya satu bagian dari mozaik bangsa Indonesia yang begitu beragam, dengan 300 etnik dan lebih dari 742 bahasa dan dialek
Eddi Santosa - detikNews
Stockholm - Puluhan warga Indonesia dan Swedia penganut Hindu Bali menyulap KBRI Stockholm menjadi tempat sembahyang untuk merayakan Hari Kuningan. Di Swedia gedung KBRI ini menjadi etalase kerukunan beragama.
Perayaan Hari Kuningan, yakni hari ke-10 puncak rangkaian perayaan Galungan, digelar Sabtu (24/10/2009) lalu. KBRI Stockholm menjadi meriah dengan aneka sesajian dari berbagai jenis buah-buahan, bunga, dan makanan.
"Selanjutnya para penganut agama ini secara khidmat melakukan sembahyang," tutur Sekretaris I Pensosbud KBRI Stockholm Dody Kusumonegoro kepada detikcom petang ini.
Seusai sesi ritual, warga memeriahkan perayaan dengan berbagai hiburan. Mereka menyanyi dan membawakan tari-tarian Bali yang menambah kesemarakan perayaan Galungan dan Kuningan.
Di bawah kepemimpinan Dubes Linggawaty Hakim, KBRI Stockholm memang menjadi rumah nyaman bagi semua pemeluk agama sesuai falsafah Pancasila dan mereka bebas menyelenggarakan perayaan hari-hari besar agama masing-masing.
"Saya senang warga merayakan Idul Fitri, Natal, Galungan-Kuningan, dan lainnya di KBRI. Dan rupanya ini menjadi perhatian menarik di mata masyarakat Swedia," ujar Linggawaty.
Pemeluk Hindu Bali di Indonesia saat ini tercatat ada 1,8% dari total 230 juta penduduk Indonesia yang mayoritas (87%) muslim. Agama hanya satu bagian dari mozaik bangsa Indonesia yang begitu beragam, dengan 300 etnik dan lebih dari 742 bahasa dan dialek
Bhineka Tunggal Ika Karya Gemilang Mpu Tantular
Denpasar (ANTARA News) - Lahirnya semboyan Bhineka Tunggal Ika yang terpampang melengkung pada sehelai "pita" yang dicengkram kedua kaki burung garuda lambang negara RI, terinspirasi dari buku Sutasoma karya gemilang Mpu Tantular.
"Wawasan pemikiran pujangga besar yang hidup di jaman kejayaan Kerajaan Majapahit itu, terbukti telah melompat jauh ke depan. Nyatanya, semboyan itu hingga sekarang masih relevan terhadap perkembangan bangsa, negara dan bahkan kemajuan iptek yang pesat di era global," kata Ketua Sekolah Tinggi Agama Budha Syailendra Salatiga, Jawa Tengah, Hastho Bramantyo MA di Denpasar, Selasa.
Ketika tampil sebagai pembicara pada seminar nasional "Sutasoma Lintas-agama dan Landasan Teologi Kerukunan", ia mengatakan, sebanyak 17 huruf dalam tiga kata Bhineka Tunggal Ika, bermakna mendalam yang mampu menggambarkan secara utuh dan menyeluruh hakekat keberagaman jagat semesta raya.
Karya besar itu lahir melalui dinamika proses perenungan dan kristalisasi pemikiran yang panjang, setidaknya membutuhkan waktu satu dasawarsa atau sepuluh tahun.
Konsep dan formulasi Bhineka Tunggal Ika hasil buah pemikiran gemilang Mpu Tantular, dicetuskan tujuh abad silam dalam karya berjudul Kekawin (pembacaan ayat-ayat suci agama Hindu-Budha) Purusadasanta, atau kini lebih populer dengan sebutan Kekawin Sutasoma.
Pada seminar nasional yang digelar Program Pascasarjana Institut Hindu Dharma Negeri (IHDN) Denpasar itu, Hastho Bramantyo menjelaskan, Kekawin Sutasoma menempati posisi penting bersama dengan karya lainnya seperti Pararaton dan Negara Kertagama.
Kekawin Sutasoma berfungsi sebagai ilmu tentang keagamaan atau teologi bagi Raja Rajasanegara pada zaman kerajaan Majapahit. Bagi Indonesia modern, kitab itu juga memberikan inspirasi dan tempat ditemukannya moto Bhineka Tunggal Ika.
Sejumlah peneliti dalam dan luar negeri belum bisa menemukan sumber yang definitif tentang Kekawin Sutasoma, namun yang jelas kekawin tersebut bercorak Budhis.
Peneliti Sutasoma tersebut antara lain Ida Bagus Sugriwa (1956), Eisink (1967), Soewito Santoso (1975) dan Zoetmulder (1983), tutur Hastho Bramantyo.
"Wawasan pemikiran pujangga besar yang hidup di jaman kejayaan Kerajaan Majapahit itu, terbukti telah melompat jauh ke depan. Nyatanya, semboyan itu hingga sekarang masih relevan terhadap perkembangan bangsa, negara dan bahkan kemajuan iptek yang pesat di era global," kata Ketua Sekolah Tinggi Agama Budha Syailendra Salatiga, Jawa Tengah, Hastho Bramantyo MA di Denpasar, Selasa.
Ketika tampil sebagai pembicara pada seminar nasional "Sutasoma Lintas-agama dan Landasan Teologi Kerukunan", ia mengatakan, sebanyak 17 huruf dalam tiga kata Bhineka Tunggal Ika, bermakna mendalam yang mampu menggambarkan secara utuh dan menyeluruh hakekat keberagaman jagat semesta raya.
Karya besar itu lahir melalui dinamika proses perenungan dan kristalisasi pemikiran yang panjang, setidaknya membutuhkan waktu satu dasawarsa atau sepuluh tahun.
Konsep dan formulasi Bhineka Tunggal Ika hasil buah pemikiran gemilang Mpu Tantular, dicetuskan tujuh abad silam dalam karya berjudul Kekawin (pembacaan ayat-ayat suci agama Hindu-Budha) Purusadasanta, atau kini lebih populer dengan sebutan Kekawin Sutasoma.
Pada seminar nasional yang digelar Program Pascasarjana Institut Hindu Dharma Negeri (IHDN) Denpasar itu, Hastho Bramantyo menjelaskan, Kekawin Sutasoma menempati posisi penting bersama dengan karya lainnya seperti Pararaton dan Negara Kertagama.
Kekawin Sutasoma berfungsi sebagai ilmu tentang keagamaan atau teologi bagi Raja Rajasanegara pada zaman kerajaan Majapahit. Bagi Indonesia modern, kitab itu juga memberikan inspirasi dan tempat ditemukannya moto Bhineka Tunggal Ika.
Sejumlah peneliti dalam dan luar negeri belum bisa menemukan sumber yang definitif tentang Kekawin Sutasoma, namun yang jelas kekawin tersebut bercorak Budhis.
Peneliti Sutasoma tersebut antara lain Ida Bagus Sugriwa (1956), Eisink (1967), Soewito Santoso (1975) dan Zoetmulder (1983), tutur Hastho Bramantyo.
Langganan:
Postingan (Atom)