Posted by Prof. Dr. I Made Titib, Ph. D on 2009-01-25 [ print artikel ini | beritahu teman | dilihat 342 kali ]“Atyantàdhika ning bratanya taya kàjar denikang ràt kabeh,manggeh ling nikang àdisastra Sivaràtri puóya tan popama”
Sivaràtrikalpa. 12.1.
“Sungguh sangat utama makna brata Sivaràtri dibicarakan di seluruh dunia,
disebutkan dalam kitab-kitab susastra utama, pahala pelaksanaan Sivaràtri
tidak ada yang menandinginya”
Pendahuluan
Setiap tahun kita merayakan Sivaràtri, setiap tahun pula kita diharapkan mampu merenungkan dan mengevaluasi setiap perbuatan yang telah kita lakukan. Perayaan-perayaan hari keagamaan tidaklah berlalu demikian rupa, tetapi lebih dari hal tersebut, kita diingatkan untuk senantiasa lebih mendekatkan diri kepada-Nya, mengikuti ajaran-Nya dan tentunya menghindarkan diri dari larangan-Nya.
Perayaan Sivaràtri dengan beraneka kegiatan ritual dimanatkan kepada kita untuk senantiasa “jagra”, memiliki kesadaran, yakni kesadaran ketuhanan yang dilandasi oleh kesucian hati, ketulusan, kejujuran dan cinta kasih yang sejati, dengan demikian, makna perayaan akan melekat dan menjadi pedoman pada diri pribadi kita dan menjadi panggilan hati, menjadi kebiasaan untuk senantiasa mengamalkan ajaran-Nya.
Kitab suci Veda, Bhagavadgìtà dan suasatra Hindu lainnya memberi petunjuk kepada umat manusia untuk senantiasa mendekatkan diri kepada-Nya. Siapa saja yang mampu mendekatkan diri kepada-Nya, mengikuti ajaran-Nya, berjalan di jalan Dharma, maka orang tersebut akan memperoleh keselamatan, kemakmuran dan kebahagiaan. Sri Krsna dalam Bhagavadgìtà menyatakan:
“AnanyàS cintayanto màý ye janàá paryupàsate,
teûàý nityàbhyuktànàý yoga kûemaý vahàmy aham”.
Bhagavadgìtà IX. 22.
(Siapa saja yang senantiasa berbhakti kepada Aku, menyembah Aku dan ingat kepada Aku, akan Aku bawakan yang mereka perlukan dan Aku lindungi yang mereka miliki)
Memperhatikan terjemahan Sloka Bhagavadgìtà tersebut, jelas bagi kita bahwa dengan senantiasa berbhakti dan ingat kepada-Nya, Tuhan Yang Maha Agung akan senantiasa menganugrahkan kesejahtraan dan kebahagiaan kepada kita. Menyimak perayaan Sivaràtri saat ini, pada siatuasi dan kondisi cuaca yang hampir setiap hari turun hujan dan suasana krisis ekonomi dan kepercayaan (moralitas) membelenggu bangsa kita, apakah relevan perayaan Sivaràtri dirayakan dewasa ini? Pertanyaan ini mesti direnungkan dengan jernih, untuk apakah perayaan Sivaràtri sesungguhnya bila di dalam diri maupun di luar lingkungan kita kondisinya sangat memprihatinkan? Untuk itu, kami akan mengetengahkan betapa utama makna perayaan Sivaràtri dan senantiasa relevan di dalam menghadapi tantangan global saat ini.
Keutamaan Brata Sivaràtri
Walaupun sudah setiap tahun, pada hari suci Sivaràtri, umat Hindu selalu merayakan hari suci ini dengan berbagai kegiatan agama seperti puasa, melakukan sambang samadhi (tidak tidur) semalam suntuk dan menyucikan diri, diskusi-diskusi atau Dharmatula tentang Sivaràtri selalu dilaksanakan. Namun demikian, dalam tulisan ini dicoba pula untuk mengetengahkan keutamaan brata (berpuasa) pada hari Sivaràtri sebagai berikut :
Kitab Siva Puràna menyatakan bahwa seorang bernama Bhilla yang pekerjaan- nya sebagai pemburu (suka membunuh binatang) mendapatkan anugrah dari Sang Hyang Siva, tidak hanya berupa sorga, tetapi juga Moksha dalam tingkatan Sayujya, yakni bersatu dengan Tuhan Yang Maha Esa. Selanjutnya kitab Siva Purana menyatakan:
“Di antara berbagai Brata, mengunjungi tempat suci, memberi dana puóya yang mahal seperti batu mulia (emas dan permata), melakukan berbagai jenis upacara Yajña, berbagai jenis tapa (pertapaan) dan melakukan berbagai kegiatan Japa (mengucapkan berulang-ulang nama-nama-Nya atau mantra untuk memuja keagungan-Nya), semuanya itu tidak ada yang melebih keutamaan brata Sivaràtri. Demikian keutamaan Brata Sivaràtri, hendaknya Brata ini selalu dilaksanakan oleh mereka yang menginginkan keselamatan dan keberutungan. Brata Sivaràtri adalah Brata yang sangat mulia, agung yang dapat memberikan kesejahtraan dan kebahagiaan lahir dan bathin”(Shastri, Siva Purana, Kotirudrasaýhità, XL. 99-101,Vol.3, Part III, p. 1438).
Sejalan dengan pernyataan di atas, kakawin Sivaràtrikalpa menyatakan keutamaan Brata Sivaràtri seperti diwedarkan oleh Sang Hyang Siva sebagai berikut :
“Setelah seseorang mampu melaksanakan Brata sebagai yang telah Aku ajarkan, kalahlah pahala dari semua upacara Yajña, melakukan tapa dan dana puóya demikian pula menyucikan diri ke tempat-tempat suci (patìrthan), pada awal penjelmaan, walaupun seribu bahkan sejuta kali menikmati Pataka (pahala dosa dan papa), tetapi dengan pahala Brata Sivaràtri ini, semua Pataka itu lenyap”.
“Walaupun benar-benar sangat jahat, melakukan perbuatan kotor, menyakiti kebaikan hati orang lain, membunuh pandita (orang suci) juga membunuh orang yang tidak bersalah, congkak dan tidak hormat kepada guru, membunuh bayi dalam kandungan, seluruh kepapaan itu akan lenyap dengan melakukan BrataSivaràtri yang utama, demikianlah keutamaan dan ketinggian Brata (Sivaràtri ) yang Aku sabdakan ini”
( Sivaratrikalpa, 37, 7-8).
Memperhatikan keutamaan Brata Sivaràtri seperti tersebut di atas, maka hakekat perayaan Sivaràtri adalah menguak kegelapan pikiran manusia, untuk menumbuhkan kesadaran ketuhanan yang sejati, mampu mengembangkan cinta kasih yang tulus.
Pelaksanaan Brata Sivaràtri di India dan di Indonesia
Pelaksanaan Brata Sivaràtri di India pada paro petang ke-14 bulan Phlaguna (Februari-Maret) hampir sama dengan di Indonesia yang dilakukan pada paro petang ke-14 bulan Magha (Januari-Februari), yakni mereka tidak tidur selama 36 jam, sembahyang ke pura-oura Sang Hyang Siva dan pura-pura ini para Pùjari (semacam pandita atau pemangku di Bali) melakukan upacara Abhiseka Lióga, mempersembahkan Naivedya (sesajen yang umumnya terbuat dari tepung gandum ,susu, buah-buah dan sari buah), dilanjutkan dengan mengucapkan/membaca doa-mantra seperti Siva Saýhità, Sivamahimastotra, Sivasahasranàma (seribu nama Sang Hyang Siva) dan umat pada umumnya mengucapkan Japa Pañcàkûara Siva (Sivamahàmantra): OÝ NAMA SIVÀYA sejak pagi hingga keesokan harinya menjelang mata hari terbenam. Umat Hindu di samping melakukan UpavaSa (puasa) juga melakukan Bhajan (mengidungkan lagu-lagu suci memuji keagungan Tuhan Yang Maha Esa sepanjang siang dan malam hari. Bhajan yang tiada hentinya dilakukan oleh banyak orang secara serempak dan atau bergiliran disebut Akhandabhajan dan keesokan harinya umat Hindu berduyun-duyun mandi di sungai suci seperti Gaóga, Yamuna atau Patìrthan-Patìrthan terdekat.
Sebagai informasi yang akurat, kami kutipkan di sini pelaksanaan Sivaràtri yang dilaksanakan di Sivananda Asram, Rishikesh, Uttar Pradesh, sebagai berikut :
1. Seluruh siswa dan Sanyasin melakukan puasa sepanjang siang dan malam hari tanpa
minum setetes airpun.
2. Sebuah Havan (Agnihotra) yang besar dilaksanakan untuk memohon kedamaian dan
kesejahtraan seluruh umat manusia.
3. Sepanjang hari dan malam , semua siswa dan Sanyasin melakukan Japa mengucapkan
Sivamahàmantra Oý Nama Sivàya.
4. Sepanjang malam semu berkumpul di pura milik Asram dan melakukan Japa tersebut
diiringi dengan Bhajan atau meditasi.
5. Setiap tiga perempat malam dilaksanakan pemujaan (Abhiseka) Lióga secara khusuk.
(Semalam 4 kali pemujaan).
6. Dikûa kepada Sanyasin baru, juga diberikan oleh Sanyasin Guru pada hari yang suci
ini.
Terdapat sedikit variasi dalam perayaan Sivaràtri di India adalah hal yang wajar karena kondisi umat Hindu yang berbeda-beda. Di Indonesia, dalam rangka standardisasi Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat telah menetapkan keputusan Seminar tentang Sivaratri yang pelaksanaannya adalah sebagai berikut :
l. Brata Sivaràtri, terdiri dari :
a. Uttama, dengan melaksanakan :
1). Monabrata (berdiam diri dan tidak berbicara).
2). UpavaSa (tidak makan dan minum).
3). Jagra (berjaga/melek,tidak tidur).
b. Madhyama (menengah) dengan melaksanakan :
1). Upavasa (tidak makan dan minum).
2). Jagra (berjaga/melek,tidak tidur).
c. Kanistama (sederhana) dengan melaksanakan :
Hanya Jagra (berjaga/melek,tidak tidur).
2. Tatacara melaksanakan Upacara Sivaratri :
a. Untuk Sang Sadhaka sesuai dengan Dharmaning Kawikon.
b. Untuk Valaka (umat pada umumnya) didahului dengan asuci laksana (menyucikan
diri). Upacara dimulai dengan urutan sebagai berikut :
1). Maprayascitta, sebagai penyucian pikiran.
2). Mapajati , mempersembahkan sesajen ke Sanggar Surya untuk memohon
persaksian kehadapan sang Hyang Sùrya.
3). Sembahyang kehadapan leluhur yang telah mencapai Siddhadevatà, untuk
memohon bantuan dan tuntunanya.
4). Mempersembahkan sesajen kepada Sang Hyang Siva. Banten ditempatkan pada
palinggih, padmasana atau dapat pula pada piyasan di Sanggah Pamarajan. Bila
semua palinggih tidak tersedia (misalnya di halam atau ruangan terbuka) dapat
membuat semacam altar, yang dipandang wajar untuk melakukan sembahyang
yang ditujukan kepada Sang Hyang Siva dan dewata Samoddhaya. Setelah
sembahyang dilanjutkan dengan nunas Tirtha sebagai biasa.
5). Sementara melakukan sembahyang Brata, baik Mona (Mauna), Upavasa dan
Jagra tetap dilaksanakan.
Demikian antara lain brata dan pelaksanaan Sivaratri baik yang dilakukan di India maupun di Indonesia, semoga hikmah pelaksanaan brata yang utama ini dapat lebih meningkatkan keimanan kita kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Makna perayaan dan Upacara Sivaràtri
Memperhatikan keutamaan keutamaan Brata Sivaràtri dan bentuk perayaan Sivaràtri di India dan di Indonesia, maka relevansi perayaan Sivaràtri saat ini adalah untuk meningkatkan kesadaran ketuhanan yang bersthana dalam sanubari kita masing-masing. Kesadaran suci (Cetana) yang terbelenggu oleh badan dan terikat oleh karma dan reinkarnasi menyebabkan Sang Diri (Atman) seakan-akan terlupakan dalam kehidupan kita. Membangkitkan kesadaran Àtman atau kesadaran diri adalah proses pemburuan seperti yang dilukiskan oleh kitab-kitab Purana, termasuk juga karya kakawin Sivaràtrikalpa oleh Mpu tanakung. Di dalam teks (kitab-kitab Purana yang berbahasa Sanskerta maupun kakawin Sivaràtrikalpa yang berbahasa Jawa Kuno senantiasa dilukiskan kehidupan seorang pemburu atau seorang yang hidpnya melakukan perbuatan hina, seperti pencuri dan sejenisnya). Di malam Siva (Sivaràtri) mereka memperoleh pahala, karena tidak sengaja hanya melek semalam suntuk. Melek karena menunggu bintang yang akan diburu atau melek karena takut diterkam bintang dan melek karena tumbuh kesadaran ketuhanan dan cinta kasih dalam dirinya.
Bila kita kaitkaan dengan kakawin Arjuna Wiwàha, maka yang diburu adalah babi yang disebut sebagai lambang dari sifat tamas dan binatang buas umumnya adalah penggambaran sifat rajas. Memburu binatang di hutan, bila kta reflkesikan dengan ajaran Yoga, sesungguhnya berbuaru untuk melenyapkan atau mengendalikan sifat Rajas dan Tamas, yang dilambangkan dengan warna merah (kemarahan/emosional)) dan hitan atau gelap (sebagai lambang kebodohan atau kemalasan), sedang Sattvam dilambangkan dengan warna putih. Untuk menemukan warna putih sebagai wujud kesucian, maka kegelapan dan keangkaraan mesti dihapuskan dan bila hal ini terjadi, maka cinta kasih Tuhan Yang Maha Agung akan dapat kita wujudkan.
Dengan ilustrasi seperti yang disebutkan dalam kitab-kitab Purana maupundalam kakawin Sivaràtrikalpa, kita dituntut untuk menyucikan diri untuk menemukan hakekat atau kesejatian kita. Kehidupan bagaikan segelas air yang jernih, karma-karma buruk telah menodainya, yang dapat kita umpamakan setetes tinta yang jatuh ke dalam gelas yang berisi air yang jernih tersebut, maka merupakan kewajiban yang mesti kita lakukan untuk menjernihkan kembali air dalam gelas yang telah ternoda tersebut. Adapun jalan yang terbaik adalah mencarikan atau menggantikan gelas tersebut dengan wadah yang lebih besar dan menuangkan air jernih sebanyak-banyaknya ke dalam gelas tersebut, maka pada saatnya air itu akan menjadi jernih kembali. Untuk itu sangat relevan petuah mahàrûi Vararuci atau Katàyana dalam Sàrasamuccaya yang menyatakan: “apan ikang Subhakarma juga angentasaken ikang aSubhakarma”, hanya dengan jalan berbuat baik (sebanyak-banyaknya) dapat melenyapkan pahala dari karma-karma buruk di masa yang lalu”.
Demikianlah relevansi perayaan Sivaràtri saat ini, sesungguhnya mengandung makna reformasi, yakni melalui perayaan Sivaràtri umat Hindu kembali di arahkan untuk mengikuti kembali ajaran agama, guna menumbuhkan kesadaran ketuhanan di dalam diri setiap individu. Perayaan Sivaràtri saat ini sangat tepat bila dikaitkan dengan suasana kehidupan di sekitar kita, yang menurut kitab-kitab Purana ada dalam jaman kaliyuga. Kata “kali” berarti pertengkaran, kali juga berarti kegelapan, karena kegelapan, menimbulkan kerakusan, keangkaraan, arogansi dan sebagainya¸yang menjadikan sifat-sifat kebinatangan menginjak-injak nilai-nilai kemanuisaan yang luhur, dampaknya adalah terjadi berbagai kerusuhan dalam skala yang besar dan kecil, memudarnya nilai-nilai moralitas, karena kesucian Sang Hyang Atman, tidak memancar lagi dalam sebagian diri umat manusia.
Selanjutnya bila kita amati makna upacara melalui sarana persembahan (sesajen) maka tampak sebagai usaha menyucikan diri dan memantapkan tekad dalam menghadapi tantangan alam maupun mentalitas pribadi di dalam usaha menuju penyatuan dengan Tuhan Yang Maha Esa untuk mewujudkan kebahagiaan yang sejati. Kebahagiaan yang sejati bila berhasil diwujudkan dalam kehidupan ini disebut bhukti atau Jivanmukta, sedang bila setelah kematian nanti disebut Moksha. Dengan demikian makna upacara Sivaràtri sesungguhnya merupakan pelaksanaan Yoga (meditasi) yang dibungkus dengan pendidikan dan pengendalian diri.
Sivaràtri dan rekonsiliasi intern dan antar umat beragama
Rekonsiliasi berarti kerukunan atau toleransi yang sejati! Kenapa saat ini kita membahas rekonsiliasi? Pertanyaan ini dapat dicermati bahwa di sekitar kita telah terjadi situasi yang mencemaskan yang dapat mengancam tali persaudaraan dan kekeluargaan kita. Dengan memaknai perayaan Sivaràtri intern umat Hindu hendaknya mampu mengkonsolidasikan dirinya guna menghadapi berbagai tantangan, baik tantangn intern maupun ekstern yang dapat mendangkalkan Sraddhà dan Bhakti umat. Tantangan atau permasalah intern umat Hindu hendaknya segera dituntaskan dan satu-satunya jalan pamungkasnya adalah dengan memajukan pendidikan agama Hindu, khususnya nilai-nilai moralitas dan spiritualitas, sehingga agama tidak hanya bersifat verbal, tetapi saudah mampu mentransformasikan umatnya dari Manava-Manava menuju dan menjadi Madhava-Madhava, bukan sebaliknya jatuh menjadi Danava-Danava, raksasa-raksas yang menghancurkan keperibadian Hindu yang sejati.
Tantang eksternal adalah usaha pihal-pihak tertentu, langsung atau tidak langsung mengarah kepada konversi atau beralihnya umat Hindu menganut agama yang lain. Tantangan ini dapat ditangkal dengan menanamkan militansi generasi muda Hindu dengan membuka wawasan serta memberikan pendalaman Sraddha dan pengamalan Bhakti, dengan Sraddha yang teguh, umat akan mampu mengatasi tentangan tersebut, untuk itu keluarga adalah benih pesemaian tumbuh-kembangnya Sraddhà seorang anak yang pada saatnya nanti tangguh menghadapi tantangan.
Dalam rangka mewujudkan stabilitas daerah, regional dan nasional kerukunan umat beragama hendaknya ditumbuhkembangkan. Kerukunan tidak berarti membangun tempat peribadatan sebanyak-banyaknya, tetapi hendaknya setiap umat beragama menghargai kekhasan daerah masing-masing, misalnya kita mengenal Aceh sebagai Serambi mekah, silakan di sana membangun mesjid dan sejenisnya yang besar-besar dan megah, tetapi Bali yang dikenal ke manca negara sebagai pulau Dewata, hendaknya umat beragama lain menahan diri untuk jangan membangun tempat beribadat secara menjolok yang di sadari atau tidak akan berdampak munculnya kasus SARA di daerah Bali.
Penutup
Demikian Makna Upacara Sivaràtri yang mengamanatkan umat-Nya kembali kepada ajaran agama yang termuat dalam berbagai kitab-kitab Veda dan susastra Hindu lainnya.
Dengan pelaksanaan perayaan Sivaràtri, umat Hindu dapat meningkatkan kualitas spiritual untuk lebih mendekatkan diri kepada sang Hyang Widhi Wasa, Tuhan Yang Maha Agung, sekaligus menumbuhkan rekonsiliasi intern dan kerukunan antar umat beragama di daerah Bali.
sumber: http://www.e-banjar.com/content/view/233/lang,en/
berkaryalah lebih jauh lagi dan inget jangan sombong...........
BalasHapus