Rabu, 15 April 2009

Hari Raya Hindu di Indonesia dan India : Sebuah perbandingan Pintas


Print

Pattram puspam phalam toyam
yo me bhaktya prayacchata
tad aham bhakty upahrtam
Bhagawadita IX.26.
(Siapa saja yang sujud kepada Aku dengan
persembahan sehelai daun, sekuntum bunga,
sebiji buah-buahan dan seteguk air,
Aku terima sebagai bhakti persembahan
dari orang yang berhati suci)

ImageAjaran agama Hindu yang bersumber pada kitab suci Veda dimanapun sama, namun pelaksanaannya berbeda. Perbedaan ini disebabkan oleh berbagai faktor di antaranya lingkungan alam, sosial budaya dan lain sebagainya. Demikian pula hari-hari raya Hindu baik di India maupun di Indonesia, ada yang sama-sama dirayakan dan ada yang tidak. Persamaan dan perbedaan pelaksanaan kehidupan beragama ini merupakan ciri yang memberi kuasa dan mewarnai pelaksanaan agama Hindu.

Di India seperti halnya umat Hindu di Indonesia mengenal banyak hari-hari besar keagamaan atau hari raya yang seluruhnya dapat dibedakan menjadi tiga 3 kelompok , yaitu : Pertama, hari-hari pesta keagamaan (festivals) yang dilakukan dengan meriah, seperti Chitrra Purinima, Durgapuja atau Navaratri, Dipavali, Gayatri Japa, Guru Purnima. Holi , Makara Sankranti, Raksabandha, Vasanta Panchami dan lain-lain. Kedua, adalah hari peringatan kelahiran tokoh-tokoh suci yang disebut Jayanti atau Janmasthani seperti Ganesa Caturti, Gita Jayanti, Valmiki Jayanti, Hanuman Jayanti, Krisna Janmasthani, Sankara Jayanti, Ramanavami dan lain-lain dan ketiga adalah hari untuk melaksanakan Brata(Vrata) atau Upavasa(Puasa) misalnya Sivaratri, Satyanarayana Vrata, Vara Laksmi Vrata, Ekadasi dan lain-lain.

Citra Purnima jatuh pada hari purnama bulan Chaitra, yakni bulan pertama dari penanggalan Saka, pemujaan ditujukan kepada dewa Yama, dewa maut dengan mempersembahkan sesajen berupa nasi berisi bumbu (sejenis "bubur pitara" di Bali) yang kemudian setelah dipersembahkan makanan atau prasadam (di Bali disebut "lungsuran") dibagikan kepada mereka yang mengikuti upacara.

Durgapuja atau Navaratri disebut juga Dussera atau Dasahara jatuh pada tanggal 1 sampai dengan 10 paro terang bulan Aswasuja atau Asuji (September-Oktober) untuk memperingati kemenangan Dharma terhadap Adharma, Upacara ini adalah untuk menghormati kemengangan Sri Rama melawan Rawana yang disebut juga Dasamukha (berkepala sepuluh). Konon Sri Rama berhasil jaya oleh karena anugerah Dewi Durga, karena itu sebagian umat Hindu memuja -Nya pada hari ini sebagai Durgapuja. Versi lain menyebnutkan sebagai kemenangan Sri Kresna melawan raksasa Narakasura, Upacara yang berlangsung 10 hari, sembilan hari pertama disebut Vijaya Dasani. Hari raya yang disebut juga Dussera ini mirip dengan Galungan dan Kuningan di Indonesia.

Dipavali, artinya persembahan lampu, disebut juga Divali, jatuh dua hari sebelum Tilem ( bulam mati) kartika ( Oktober-November), beliau disambut dengan penyalaan lampu-lampu, kembang api dan mercon semalam suntuk. Pagi hingga siang hari dilakukan persembahyangan keluarga di pura-pura terdekat di samping kunjungan keluarga, suasananya seperti Ngembak Agni di Bali.

Gayatri Japa, jatuh sehari setelah purnama Sravana (Kasa) bulan Juli atau agustus, sebagai peringatan turunya mantram Gayatri yang kini populer menjadi mantra Japa yang sangat penting dan sangat dikeramatkan oleh umat Hindu.

Guru Purnima jatuh pada hari purnama Asadha (bulan Juli-Agustus), hari ini disebut juga Vyasa Jayanti, hari lahirnya maharesi Vyasa. Makna hari raya ini mirip dengan Pagerwesi. Sejak purnama ini selama 4 bulan ( Caturmasa) para Sanyasin tidak lagi mengembara (karena musim hujan), mereka tinggal di asram-asram mendiskusikan Brahmasutra dan melakukan meditasi.

Holi, hari ini jatuh pada purnama Phalguna ( Kawulu), bulan Februari-Maret, dirayakan diseluruh India sangat meriah , maknanya untuk menyambut musim panas dikaitkan dengan raksasa perampuan bernama Holika yang akhirnya mati terbakar dikalahkan oleh kenbenaran yang dimanifestasikan oleh Prahlada. Upacaranya mirp dengan mecaru di perempatan-perempatan desa di Bali dan membuat api unggun yang dinyalakan pada saat menjelang malam.

Makara Sankranti jatuh pada pertengahan januari, pada saat itu matahari mulai bergerak ke arah utara Katulistiwa, sebagian besar umat Hindu menyucikan diri di sungai Gangga atau sungai sungai suci lainya di India, pemujaan ditujukan kepada dewa Surya.

Raksabandha jatuh pada hari purnama Sravana(Kasa), Juli- Agustus hari untuk menguatkan tali kasih sayang antara suami-istri, anak orang tua, kemenakan dengan paman/bibi, murid dengan guru dan sebaliknya, mengingatkan cintanya dewi Sachi kepada Indra. Pada hari ini pagi-pagi benar umat Hindu menyucikan diri ke sungai Gangga atau sungai-sungai suci lainya. Selesai sembahyang dilanjutkan dengan pengikatan benang pada pergelangan tangan masing-masing, tanda memperteguh ikatan kasih sayang.

Vasanta Panchami jatuh pada hari kelima paro terang ( Suklapaksa Magha masa), yakni bulan Januari-Februari dalam menyambut musim semi (Vasanta), seperti halnya hari-hari suci lainya, pada hari ini juga umat hindu mandi suci di sungai Gangga atau sungai-sungai suci lainya di India, disamping melakukan meditasi atau yoga Sadhana.

Hari-hari lainya yang berkaitan dengan peringatan kelahiran tokoh seperti Ganesa Caturti jatuh pada tanggal 4 paro terang Badrapada ( Agustus - september ) memperingati kelahiran Ganesa putra Siva. Para pemuja Ganesa melakukan japa, bermeditasi mengingat nama-Nya.

Gita Jayatri adalah memperingati turunya sabda suci Bhagawandgita, jatuh pada Ekadasi Suklapaksa Margasirsa yakni hari ke sebelas paro terang bulan margasirsa (Desember-Januari), seperti dimaklumi Bhagawadgita disampaikan oleh Sri Kresna kepada Arjuna di padang Kurusetra, tepat terjadinya peristiwa rohani ini kini disebut Jyotisara, sekitar 3 kilometer dari tempatnya rsi Bhisma terbaring menunggu matahari bergerak keutara.

Valmiki Jayanti jatuh beberapa hari menjelang Dipavali adalah untuk memperingati tokoh hindu, penyusun Ramayana sedang Hanuman Jayanti jatuh pada purnama Chaitra ( Bulan Maret-April) bersamaan dengan hari Chaitra Purnama, untuk memuja Yama, Kresna Janasthami jatuh pada hari ke 8 paro petang bulan Bhadrapada ( Agustus-September) untuk memperingati kelahiran Sri Kresna di kota Mathura, sebuah kota suci ditepi sungai Yamuna.

Sankara Jayanti jatuh pada tanggal 5 paro terang bulan Vaisaka ( Mei-Juni) untuk menghormati tokoh spiritual India peletak dasar ajaran Advaita Vedanta. Sri Sankara dikenal sebagai gurudeva dari para Sanyasin di seluruh India.

Ramanavani Jayanti adalah peringatan hari kelaiharan Sri Rama yang jatuh pada tanggal 9 paro terang bulan Chaitra ( Maret-April) . Sri Rama lahir di kota suci Ayodya, di Uttar Pradesh, India Utara.

Hari yang berkaitan dengan Brata atau Upavasa adalah Sivaratri hari ini jatuh pada tanggal 14 paro gelap bulan Maghadan Phalguna ( yakni bulan januari dan Februari ). Umat Hindu di Indonesia melaksanakannya pada bulan Magha ( sasih Kapitu), sedang umat Hindu di India melakukan pada bulan Phalguna ( Kawulu). Hal ini mungkin disebabkan saat itu merupakan bulan mati paling gelap di India.

Satya Narayana Vrata umunya dilakukan pada hari-hari purnama seperti Kartika ( Kapat), Vaisaka ( Kadasa), Sravana(Kasa), dan Chaitra ( Kasanga) dapat juga dilakukan pada saat bulan terbit ( tanggal 1 paro terang/penanggal). Bentuknya sangat sederhana yakni berupa persembahan dana punia kepada para pandita dan pemberian / pembagian makanan kepada orang-orang miskin.

Ekadasi atau Vaikunta Ekadasi Vrata jatuh pada tanggal dab panglong dan penanggal 11 bulan Margasisra ( Desember-Januari), 2 kali sebulan berupa puasa tidak makan nasi pada hari itu. meraka yang melakukan Ekadasi Vrata terbebas dari segala dosa.

Vara Laksmi Vrata , dilakukan pada hari Jumat bulan Sravana ( kasa) bulan Juli - Agustus untuk memohon kesejahteraan lahir dan bathin. Masih banyak kita jumpai informasi tentang Brata atau Upavasa di dalam kitab-kitab Ithiasa dan Puranba yang rupanya beberapa diantaranya dipetik dan diabadikan dalam lontar lontar tentang Bratha di Bali.

Telah dijelaskan di depan bahwa hari raya keagamaan yang mirip dengan galuingan dan kuningan adalah hari Durgapuja atau Navaratri yang diakhiri dengan Vijaya Dasani dirayakan hampir diseluruh India.
menurut Svami Sivananda dalam bukunya Fasts & Festivals of India (1991) India bahwa permulaan musim panas dan permulaan musim dingin, dua hal yang sangat penting adalah pengaruh matahari dan Iklim. Pda kedua perioda ini adalah kesempatan yang baik memuja iklim. Durga ( manifestasi Tuhan Yang Maha Esa segabai seorang Ibu) yakni dilakukan bertepatan dengan Ramanavani pada bulan Chaitra ( April-Mei) dan pada Durga Navarartri atau VijayaDasami pada bulan Asuji (September - Oktober) . Sri Rama dipuja pada saat Ramanavami sedang dewi dewi Durga di puja pada Navaratri. Durgapuja ini dirayakan secara besar-besaran dengan menghias altar ( tempat pemujaan keluarga, biasanya dalam kamar suci, tidak mempunyai pemerajan seperti kita di Indonesia). Tiga hari pertama pemujaan ditujukan kepada dewi Durga, tiga hari selanjutnya kepada dewi Laksmi dan tiga hari berikutnya kepada dewi Sarasvati.

Pada Pucak perayaan, hari ke sepuluh ( Vijaya Dasami) sejak pagi hari umat telah melakukan sembahyang dirumah ditujukan kepada ketiga dewi tadi, didahului dengan pemnujaan kepada Ganesa dan diakhiri denan pemujaan kepada dewa Siva atau Istadevata lainya. Selesai pemujaan dilanjutkan denan Dhyana atai meditasi dan pembacaan kitab-kitab suci khusunnya Dewi Sukta dari Rgveda, Dewi Mahatya, Bhagavadgita, Upanisad, Brahmasutra atau kitab Ramayana. Umat pada umumnya sejak pagi sudah mengucapkan Bhajan atau kidung-kidung memuja keagungan Tuhan Yang Maha Esa . Berbagai jenus makanan dipersembahkan dan akhir dari persembahyangan bersama dalam keluarga atau di pura ( Mandir ) selalu dibagikan Pradasam atau lungsuran untuk dinikmati bersama. Dewasa ini resepsi perayaan Durgapuja atau Wijaya Dasami dilakukan puladi kantor-kantor pemerintah dan swasta, juga disekolah-sekolah , selesai persembahyangan pada umumnya umat melakukan Dharmasanti, yakni kunjungan kepada keluarga terdekat, para guru pandita maupun sahabat atau tetangga. Saat ini semua keluarga berkumpul, karena itu beberapa hari kota-kota besar seperti mati, karena suasananya sepi, Ketika malam tiba, mulailah dilaksanakan pembakaran patung patung rawana yang digambarkan berkepala sepuluh, juga adiknya kumbakarna dan putranya meghananda, di India Timur dan selatan dilanjutkan dengan mengarak arca atau patung Durga, seorang dewi yang amat cantik bertangan sepuluh. Pembakaran atau terbunuhnya Rawana dan pengikutnya selalu dudahului dengan drama tari Ramayana dan keesokan harinya umat datang ke sungai-sungai suci untuk mandi menyucikan diri. Demikianlah pelaksanaan Vijaya Dasami, sedang peringatan tahun Baru Saka yang kita kenal dengan hari raya Nyepi tidak dikenal/dirayakan oagi di India, walaupun pada jaman dahulu hampir seluruh India mengenal dan menggunakan tahun Saka. Kini di India hanya pemerintah yang menetapkan tahun baru Saka setiap tanggal 22 Maret bila tahun biasa dan 21 maret bila Tahun Kabisat dan masyarakat umum kurang memperhatikan hal itu. Di India selain tahun Saka, dikenal juga tahun Harsa ( Harsa Sampat), tahun Vikrama ( Vikrama Sampat) dan lain-lain. Informasi yang saya terima tahun yang lalau di Nepal umat Hindu juga merayakan tahun baru Saka bersamaan denan hari raya Nyepi kita di Indonesia. Untuk dimaklumi Nepal adalah satu-satunya kerajaan hindu di dunia yang tempatnya di pegunungan Himalaya. Arsitektur pura di Neval bentukya sama denan Meru di Bali ( Indonesia), manunjukkan hubungan yang erat pengaruh Hindu ( India) terhadap Indonesia. Rupanya karena perbedaan musim dan tidak ada raja yang menjadikan Sri Rama sebagai Istadevata maupun karena sistem kalender yang digunakan di Indonesia, kita hanya mengenal Galungan dua kali dalam setahun, seperti halnya juga Sarasvati puja.

Selanjutnya bila kita memperhatikan persembahyangan yang dilakukan sehari menjelang hari raya Holi, yakni berupa persembahan biji bijian dan bunga serta pada air pada perempatan-perampatan desa yang telah menyiapkan kayu api untuik apiu unggun mengingat kita pada upacara Catur Tawur Kasanga, sehari menjelang Nyepi, sedang pelaksanaan Sivaratri hampir sama dengan di Indonesia.


Permulaan Perayaan Galungan di Bali (Indonesia)

Sungguh amat sulit memastikan hal ini, bila kita menegok kembali pada sumber tradisi di Bali di antaranya kitab Usana bali dan berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh bapak K.Ginarsa terhadap prasasti-prasasti jaman bali Kuna maka dapat disimpulkan baha Galungan telah dirayakan pada jaman Valajaya atau Tarunajaya yang didalam lontar Usana Bali disebut Jayakusuma putra dari raja Bhatara Guru yang memerintah pada tahun saka 1246 -1250 . Didalam lontar Usana Bali dinyatakan bahwa para raja pendek usianya disebabkan melupakan tradisi untuk merayakan Galungan ( yakni upacara pabhyakalan pada Kala Tiga ning Dungulan )

Bila kita melihat upacara Sradha, yakni upacara penyucian roh sang raja Gunapriya Dharmapathi, permaisuri raja Dharma udayana Varmadewa yang memerintah Saka 911-929 dan ketika mangkat rohnya disatukan dengan Istadevata-Nya sebagai Durgamahisa sura mardini, yaitu Dewi Durga sedang membunuh raksasa dalam wujudnya seekor kerbau ( kini arcanya tersimpan di pura kedarman burwan kutri, Gianyar), maka upacara Durgapuja telah dilaksanakan pada waktu itu. Upacara penyatuan roh yang telah disucikan dengan dewata pujaan (Istadevata) disebut mencapai tingkatan Atmasiddhadevata dan hal ini dapat kita lihat dari Informasi penyucian roh leluhur raja Hayam Wuruk, yakni Ratu gayatri di Pura penataran yang dalam kitab Nagarakrtagama, Pura ini disebut Hyang I Palah.

Upacara Durgapuja pada waktu itu belum disebut galungan, melainkan disebut " atawuri umah anucyaken pitara" yang artinya upacara selamatan rumah dan penyucian roh ( leluhur), sebagaimana bunyi prasasti Suradhipa tahun Saka 1037.

Istilah Galungan rupanya pertama kali disebut dalam prasasti yang di keluarkan oleh raja Jaya Sakti tahun Saka 1055, disamping juga sesajen yang bernama Tahapan-stri, persembahan yang ditujukan kepada dewi Durga Sakti Siva, karena dewi Durga- lah yang dapat membasmi berbagai bentuk kejahatan dalam wujud raksasa.. Ciri khas persembahan kepada dewi Durga adalah berupa daging babi yang sampai kini masih tersisa di Bengala dan Nepal dan rupanya penggunaan daging babi ( yang juga warisi di Bali) adalah tradisi dari upacara Durgapuja itu.

Selanjnya bila kita melihat penaggalan bali, dalam hitungan hari yang disebut Astawara, maka sejak Radite sampai dengan Anggara Wage Dungulan, hari-hari itu bertepatan dengan Kala, karenanya disebut Sang Kala Tiga, sedang pada hari galungan ( Buda Kliwon Dungulan) adalah Uma, nama lain dari Durga dalam aspek Santa ( damai) pada saat ini umat memohon anugerahnya. Hari Galungan di samping memuja Tuhan Yang Maha Esa dalam aspek beliau sebagai Uma, Durga atau Siva Mahdeva, bagi umat Hindu di Bali adalah juga merupakan hari pemujaan kepada leluhur. Hal ini dapat kita lihat dari rangkaian dari dan upacara Galungan, sejak Sugihan Jawa, Bali sampai dengan Sabtu Umanis Wuku Kuningan , akhir dari rangkaian perayaan Galungan.

Berdasarkan penjelasan tadi, Galungan telah dimulai sejak jaman Bali Kuna dan hingga kini tetap dirayakan. Jelaslah bagi kita upacara Galungan memiliki kesamaan makna dengan upacara Durgapuja atau Sradha Vijaya Dasani di India. Tentang filsafat Galungan ini kiranya dapat dilihat dari keputusan Seminar Kesatuan Tafsir kiranya dapat aspek-aspek agama hindu I di Amlapura, 1975 yang telah pula ditetapkan oleh Parisada Hindu Dharma Indonesia, sebagai hari kemenangan Dharma melawan a Dharma, kebenaran melawan kejahatan.

Hal yang tergantung adalah adanya transformasi diri bahwa dengan persembahyangan yang mantap pada hari-hari besar keagamaan diharapkan kita lebbih maju dalam bidang spiritual. Transformasi yang dimaksud adalah perubahan diri dari tadinya yang masih dibelenggu oleh sifat loba atau tamak, angkuh, suka menipu orang dan perbuatan sejenisnya berubah menjadi dermawan, suka menolong hidup lainyua. Transformasi diri akan terjadi dengan sendirinya bila mampu mengaktualisasikan ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari. Apakah artinya berbagai bentuk perayaan dan persembahyangan yang kita lakukan bila tidak terjadi perubahan diri, sipat-sifat Adharma senantiasa menguasai kita. Tentunya hal itu akan sia-sia.

Sebenarnya banyak hal yang dapat dilakukan dalam rangka memperingati hari-hari raya keagamaan ini dan sesuai pula dengan pengertian agama yakni mewujudkan "kerahayuan jagat", disamping kegiatan ritual, kegiatan-kegiatan sosial keagamaan dan kemanusiaan sangat mutlak dilakukan. Disinilah pentingnya aktualisasi dan reaktualisasi agama dalam kehidupan bersama dalam masyarakat. Panitia-panitia perayaan yang ada pada lingkungan desa atau kantor instansi pemerintah atau swasta dapat melakukan berbagai kegitan, misalnya dengan donor darah, mengunjungi panti asuhan dan rumah jompo, memberikan pelayanan kesehatan, penghijaun dan lain-lain. Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat melalui Pesamuhan Agung 1989 yang lalu menetapkan 6 meteda pembinaan umat, yakni: Dharma Vacana (yakni kotbah/ceramah agama), Dharma Tula (diskusi/sarasehan agama), Dharma Gita (menyayikan lagu-lagukeagamaan), Dharma Santi (Silaturahmi/resepsi ), Dharma Sadhana (merealisasikan ajaran agama melalui yogasamadi ) dan Dharma atau Tirthayatra mengunjungi tempat-tempat suci untuk mendapatkan kesucian diri ). Bila 6 kegiatan ini dapat dilakukan maka transformasi diri denngan sendirinya terjadi. Semogalah *

Om Dirghayur astu tat astu svaha
Om Santih Santih Santih

=== I Made Titib ===

Nyepi

Langsung ke: navigasi, cari

Hari Raya Nyepi adalah hari raya umat Hindu yang dirayakan setiap tahun Baru Saka. Hari ini jatuh pada hitungan Tilem Kesanga (IX) yang dipercayai merupakan hari penyucian dewa-dewa yang berada di pusat samudera yang membawa intisari amerta air hidup. Untuk itu umat Hindu melakukan pemujaan suci terhadap mereka.

Daftar isi

[sembunyikan]

Tujuan dan rangkaian perayaan

Tujuan utama Hari Raya Nyepi adalah memohon ke hadapan Tuhan Yang Mahaesa, untuk menyucikan Buwana Alit (alam manusia) dan Buwana Agung (alam semesta). Hari Raya Nyepi sebenarnya merupakan bagian dari rangkaian perayaan yang lebih besar. Berikut perinciannya.

Tawur (Pecaruan), Pengrupukan, dan Melasti

Sehari sebelum Nyepi, yaitu pada "panglong ping 14 sasih kesanga", umat Hindu melaksanakan upacara Buta Yadnya di perempatan jalan dan lingkungan rumah masing-masing, dengan mengambil salah satu dari jenis-jenis caru (semacam sesajian) menurut kemampuannya. Buta Yadnya itu masing-masing bernama Pañca Sata (kecil), Pañca Sanak (sedang), dan Tawur Agung (besar). Tawur atau pecaruan sendiri merupakan penyucian/pemarisuda Buta Kala, dan segala leteh (kekotoran) diharapkan sirna semuanya. Caru yang dilaksanakan di rumah masing-masing terdiri dari nasi manca (lima) warna berjumlah 9 tanding/paket beserta lauk pauknya, seperti ayam brumbun (berwarna-warni) disertai tetabuhan arak/tuak. Buta Yadnya ini ditujukan kepada Sang Buta Raja, Buta Kala dan Batara Kala, dengan memohon supaya mereka tidak mengganggu umat.

Mecaru diikuti oleh upacara pengerupukan, yaitu menyebar-nyebar nasi tawur, mengobori-obori rumah dan seluruh pekarangan, menyemburi rumah dan pekarangan dengan mesiu, serta memukul benda-benda apa saja (biasanya kentongan) hingga bersuara ramai/gaduh. Tahapan ini dilakukan untuk mengusir Buta Kala dari lingkungan rumah, pekarangan, dan lingkungan sekitar. Khusus di Bali, pengrupukan biasanya dimeriahkan dengan pawai ogoh-ogoh yang merupakan perwujudan Buta Kala yang diarak keliling lingkungan, dan kemudian dibakar. Tujuannya sama yaitu mengusir Buta Kala dari lingkungan sekitar.

Tahap terakhir adalah melasti, yaitu menghanyutkan segala leteh (kotoran) ke laut, serta menyucikan pretima. Upacara ini dilakukan di laut, karena laut dianggap sebagai sumber amerta. Selambat-lambatnya pada tilem sore, melasti harus selesai.

Nyepi

Keesokan harinya, yaitu pada panglong ping 15 (atau tilem Kesanga), tibalah Hari Raya Nyepi sesungguhnya. Pada hari ini dilakukan puasa Nyepi yang disebut "Catur Brata" Penyepian dan terdiri dari amati geni (tiada berapi-api/tidak menggunakan dan atau menghidupkan api), amati karya (tidak bekerja), amati lelungan (tidak bepergian), dan amati lelanguan (tidak mendengarkan hiburan). Brata ini dilakukan sejak sebelum matahari terbit. Menurut umat Hindu, segala hal yang bersifat peralihan, selalu didahului dengan perlambang gelap. Misalnya seorang bayi yang akan beralih menjadi anak-anak (1 oton/6 bulan), lambang ini diwujudkan dengan 'matekep guwungan' (ditutup sangkar ayam). Wanita yang beralih dari masa kanak-kanak ke dewasa (Ngeraja Sewala), upacaranya didahului dengan ngekep (dipingit). Demikianlah untuk masa baru, ditempuh secara baru lahir, yaitu benar-benar dimulai dengan suatu halaman baru yang putih bersih. Untuk memulai hidup dalam caka/tahun baru pun, dasar ini dipergunakan, sehingga ada masa amati geni.

Intisari dari perlambang-perlambang lahir itu (amati geni), menurut lontar "Sundari Gama" adalah "memutihbersihkan hati sanubari", yang merupakan kewajiban bagi umat Hindu.

Tiap orang berilmu (sang wruhing tattwa jñana) melaksanakan brata (pengekangan hawa nafsu), yoga ( menghubungkan jiwa dengan paramatma (Tuhan), tapa (latihan ketahanan menderita), dan samadi (manunggal kepada Tuhan, yang tujuan akhirnya adalah kesucian lahir batin).

Semua itu menjadi keharusan bagi umat Hindu agar memiliki kesiapan batin untuk menghadapi setiap tantangan kehidupan di tahun yang baru. Kebiasaan merayakan hari raya dengan berfoya-foya, berjudi, mabuk-mabukan adalah sesuatu kebiasaan yang keliru dan mesti diubah.

Ngembak Geni (Ngembak Api)

Rangkaian terakhir dari perayaan Tahun Baru Saka adalah hari Ngembak Geni yang jatuh pada tanggal "ping pisan (1) sasih kedasa (X)". Pada hari inilah Tahun Baru Saka tersebut dimulai. Umat Hindu bersilaturahmi dengan keluarga besar dan tetangga, saling maaf memaafkan (ksama) satu sama lain. Dengan suasana baru, kehidupan baru akan dimulai dengan hati putih bersih. Jadi kalau tahun masehi berakhir tiap tanggal 31 Desember dan tahun barunya dimulai 1 Januari, maka tahun Çaka berakhir pada "panglong ping limolas (15) sasih kedasa (X)", dan tahun barunya dimulai tanggal 1 sasih kedasa (sumber wikipedia)

Senin, 13 April 2009

Kekuatan Cinta Melahirkan Karya Besar

Apr 21st, 2008 by ivanorma

image_00190.jpgAda yang pernah mendengar nama Le Mayeur? Nama itu mengingatkan saya pada buku Kumpulan Lukisan dan Patung Koleksi Bung Karno. Dulu, buku-buku yang berjumlah 5 seri ini sering sekali saya buka untuk menikmati keindahan lukisan-lukisan karya pelukis besar. Secara tidak sengaja, siang itu saya menemukan dan mengunjungi Museum Le Mayeur di tepi Pantai Sanur. Mengherankan, selama 19 tahun saya pernah menghabiskan masa kecil di Bali, tak pernah saya dengar tentang museum ini. Rugi sekali!

Le Mayeur yang punya nama lengkap Adrien Jean Le Mayeur de Merpres adalah seorang pelukis Belgia yang lahir pada tanggal 9 Februari 1880 di Ixelles, Brussel, anak bungsu dua bersaudara dari ayah Andrien Le Mayeur De Merpres dan Ibu Louise Di Bosch. Pendidikan terakhirnya di Perguruan Tinggi Politeknik di Universitas Libre, Brussel dan bergelar Insinyur bangunan tetapi lebih menekuni bidang seni lukis.

Dalam meniti karirnya sebagai pelukis, Le Mayeur kemudian melanglang buana ke berbagai belahan dunia seperti Perancis, Italia, Maroko, Tunisia, Aoljazair, India, Thailand, Kanboja, Tahiti dan akhirnya ke Bali. Le Mayeur menginjakkan kaki pertama di Bali pada tahun 1932 melalui jalan laut dan mendarat di Singaraja kemudian melanjutkan perjalanan ke Denpasar, dengan menyewa sebuah rumah di Desa Kelandis.

Dalam meniti karirnya sebagai pelukis, Le Mayeur kemudian melanglang buana ke berbagai belahan dunia seperti Perancis, Italia, Maroko, Tunisia, Aoljazair, India, Thailand, Kanboja, Tahiti dan akhirnya ke Bali. Le Mayeur menginjakkan kaki pertama di Bali pada tahun 1932 melalui jalan laut dan mendarat di Singaraja kemudian melanjutkan perjalanan ke Denpasar, dengan menyewa sebuah rumah di Desa Kelandis.

image_00184.jpgDi tempat inilah kemudian Le Mayeur berkenalan dengan seorang penari Legong bernama Ni Nyoman Pollok kelahiran 03 Maret 1917. Kecantikan dan keanggunan Ni Pollok waktu menari menggugah hati Le Mayeur untuk menjadikan Ni Pollok menjadi model dalam lukisannya. Seiring dengan perjalanan waktu hubungan Le Mayeur dengan Ni Pollok semakin intim dan berlanjut ke jenjang pernikahan. Ni Pollok sebagai seorang istri menghendaki keturunan tapi Le Mayeur menolak alasannya karena Ni Pollok diinginkannya tetap sebagai model. Kehamilan akan merusak keindahan tubuhnya. Ni Pollok memang luar biasa pesonanya. Foto Ni Pollok yang saya pajang ini adalah foto resmi yang published. Jadi mohon jangan dihubungkan dengan UU ITE.

image_00185.jpgDari kekuatan cinta Sang Maestro itu, muncullah karya-karya besar. Lukisan-lukisan Le Mayeur banyak sekali yang menggunakan model Ni Pollok dan kegiatan-kegiatan adat dan kesenian di Bali. Ni Pollok memang terus menari. Goresan-goresan pada lukisannya menunjukkan sekali kekuatan cinta Le Mayeur kepada Ni Pollok. Cinta Ni Pollok yang kuat pun membuat ia rela mengikuti kemauan suaminya untuk tidak memiliki anak.

image_00183.jpgKarya lukis Le Mayeur mencapai 88 buah, umumnya memiliki ciri impresionis, dan dibuat antara tahun 1921 sampai 1957. Uniknya, karya-karya tersebut beberapa di antaranya menggunakan media lukis selain kanvas, misalnya hardboard, tripleks, kertas, dan bagor atau kain goni. Media lukis kain goni, misalnya, digunakan oleh Le Mayeur pada masa penjajahan Jepang karena kesulitan mendapatkan kiriman kanvas dari Belgia.

Sebagian kecil karya Le Mayeur yang ditampilkan di tulisan ini adalah hasil dari tindakan tidak terpuji dan melanggar peraturan tidak memotret lukisan.

image_00181.jpgimage_00182.jpgimage_00186.jpg

Dari berpameran di Singapura , Le Mayeur kemudian membeli sebidang tanah seluas 20,6 are di Pantai Sanur. Di tempat ini kemudian Le Mayeur membangun rumah. Ruang induk terdiri dari ruang tamu, ruang keluarga, studio, kamar tidur dan kamar mandi. Sanggar Le Mayeur penuh dengan koleksi lukisan dan buku-bukunya yang sangat menarik, yang disimpan dalam bangunan yang berarsitektur Bali.

Pada awal tahun 50-an, kondisi kesehatan Le Mayeur mulai menurun. Bulan Maret 1958 Le Mayeur berobat ke Belgia didampingi istrinya. Sang Maestro meninggal dunia pada tanggal 27 Mei 1958 dalam usia 78 tahun. Jenasahnya dimakamkan di pemakaman keluarga Ixelles, Brussel. Ni Pollok tetap tinggal di rumah mereka di Sanur, bahkan ia merelakan rumahnya terbuka untuk umum yang ingin mengenal karya Le Mayeur. Kekuatan cinta pula yang membuat Ni Pollok setia merawat semua peninggalan suaminya.

Pada tanggal 27 Juli 1985 Ni Pollok meninggal dunia, maka perusahaan seni lukis ditinggalkannya kini milik Pemerintah Indonesia yang dikelola oleh Pemerintah Daerah Propinsi Bali. Rumah beserta isinya sekarang menjadi Museum Le Mayeur.

Banyak karya besar lahir dari kekuatan cinta. Cinta memang mampu memotivasi orang bahkan untuk menggerakkan dunia. Cinta juga membutuhkan pengorbanan besar. Kadang bahkan sangat besar. Mungkin kita pun pernah membuktikan hal ini

Rabu, 01 April 2009

MAKNA UPACARA SIVARÀTRI

Posted by Prof. Dr. I Made Titib, Ph. D on 2009-01-25 [ print artikel ini | beritahu teman | dilihat 342 kali ]“Atyantàdhika ning bratanya taya kàjar denikang ràt kabeh,manggeh ling nikang àdisastra Sivaràtri puóya tan popama”
Sivaràtrikalpa. 12.1.

“Sungguh sangat utama makna brata Sivaràtri dibicarakan di seluruh dunia,
disebutkan dalam kitab-kitab susastra utama, pahala pelaksanaan Sivaràtri
tidak ada yang menandinginya”

Pendahuluan
Setiap tahun kita merayakan Sivaràtri, setiap tahun pula kita diharapkan mampu merenungkan dan mengevaluasi setiap perbuatan yang telah kita lakukan. Perayaan-perayaan hari keagamaan tidaklah berlalu demikian rupa, tetapi lebih dari hal tersebut, kita diingatkan untuk senantiasa lebih mendekatkan diri kepada-Nya, mengikuti ajaran-Nya dan tentunya menghindarkan diri dari larangan-Nya.

Perayaan Sivaràtri dengan beraneka kegiatan ritual dimanatkan kepada kita untuk senantiasa “jagra”, memiliki kesadaran, yakni kesadaran ketuhanan yang dilandasi oleh kesucian hati, ketulusan, kejujuran dan cinta kasih yang sejati, dengan demikian, makna perayaan akan melekat dan menjadi pedoman pada diri pribadi kita dan menjadi panggilan hati, menjadi kebiasaan untuk senantiasa mengamalkan ajaran-Nya.

Kitab suci Veda, Bhagavadgìtà dan suasatra Hindu lainnya memberi petunjuk kepada umat manusia untuk senantiasa mendekatkan diri kepada-Nya. Siapa saja yang mampu mendekatkan diri kepada-Nya, mengikuti ajaran-Nya, berjalan di jalan Dharma, maka orang tersebut akan memperoleh keselamatan, kemakmuran dan kebahagiaan. Sri Krsna dalam Bhagavadgìtà menyatakan:

“AnanyàS cintayanto màý ye janàá paryupàsate,
teûàý nityàbhyuktànàý yoga kûemaý vahàmy aham”.

Bhagavadgìtà IX. 22.

(Siapa saja yang senantiasa berbhakti kepada Aku, menyembah Aku dan ingat kepada Aku, akan Aku bawakan yang mereka perlukan dan Aku lindungi yang mereka miliki)

Memperhatikan terjemahan Sloka Bhagavadgìtà tersebut, jelas bagi kita bahwa dengan senantiasa berbhakti dan ingat kepada-Nya, Tuhan Yang Maha Agung akan senantiasa menganugrahkan kesejahtraan dan kebahagiaan kepada kita. Menyimak perayaan Sivaràtri saat ini, pada siatuasi dan kondisi cuaca yang hampir setiap hari turun hujan dan suasana krisis ekonomi dan kepercayaan (moralitas) membelenggu bangsa kita, apakah relevan perayaan Sivaràtri dirayakan dewasa ini? Pertanyaan ini mesti direnungkan dengan jernih, untuk apakah perayaan Sivaràtri sesungguhnya bila di dalam diri maupun di luar lingkungan kita kondisinya sangat memprihatinkan? Untuk itu, kami akan mengetengahkan betapa utama makna perayaan Sivaràtri dan senantiasa relevan di dalam menghadapi tantangan global saat ini.

Keutamaan Brata Sivaràtri
Walaupun sudah setiap tahun, pada hari suci Sivaràtri, umat Hindu selalu merayakan hari suci ini dengan berbagai kegiatan agama seperti puasa, melakukan sambang samadhi (tidak tidur) semalam suntuk dan menyucikan diri, diskusi-diskusi atau Dharmatula tentang Sivaràtri selalu dilaksanakan. Namun demikian, dalam tulisan ini dicoba pula untuk mengetengahkan keutamaan brata (berpuasa) pada hari Sivaràtri sebagai berikut :

Kitab Siva Puràna menyatakan bahwa seorang bernama Bhilla yang pekerjaan- nya sebagai pemburu (suka membunuh binatang) mendapatkan anugrah dari Sang Hyang Siva, tidak hanya berupa sorga, tetapi juga Moksha dalam tingkatan Sayujya, yakni bersatu dengan Tuhan Yang Maha Esa. Selanjutnya kitab Siva Purana menyatakan:

“Di antara berbagai Brata, mengunjungi tempat suci, memberi dana puóya yang mahal seperti batu mulia (emas dan permata), melakukan berbagai jenis upacara Yajña, berbagai jenis tapa (pertapaan) dan melakukan berbagai kegiatan Japa (mengucapkan berulang-ulang nama-nama-Nya atau mantra untuk memuja keagungan-Nya), semuanya itu tidak ada yang melebih keutamaan brata Sivaràtri. Demikian keutamaan Brata Sivaràtri, hendaknya Brata ini selalu dilaksanakan oleh mereka yang menginginkan keselamatan dan keberutungan. Brata Sivaràtri adalah Brata yang sangat mulia, agung yang dapat memberikan kesejahtraan dan kebahagiaan lahir dan bathin”(Shastri, Siva Purana, Kotirudrasaýhità, XL. 99-101,Vol.3, Part III, p. 1438).

Sejalan dengan pernyataan di atas, kakawin Sivaràtrikalpa menyatakan keutamaan Brata Sivaràtri seperti diwedarkan oleh Sang Hyang Siva sebagai berikut :
“Setelah seseorang mampu melaksanakan Brata sebagai yang telah Aku ajarkan, kalahlah pahala dari semua upacara Yajña, melakukan tapa dan dana puóya demikian pula menyucikan diri ke tempat-tempat suci (patìrthan), pada awal penjelmaan, walaupun seribu bahkan sejuta kali menikmati Pataka (pahala dosa dan papa), tetapi dengan pahala Brata Sivaràtri ini, semua Pataka itu lenyap”.

“Walaupun benar-benar sangat jahat, melakukan perbuatan kotor, menyakiti kebaikan hati orang lain, membunuh pandita (orang suci) juga membunuh orang yang tidak bersalah, congkak dan tidak hormat kepada guru, membunuh bayi dalam kandungan, seluruh kepapaan itu akan lenyap dengan melakukan BrataSivaràtri yang utama, demikianlah keutamaan dan ketinggian Brata (Sivaràtri ) yang Aku sabdakan ini”
( Sivaratrikalpa, 37, 7-8).

Memperhatikan keutamaan Brata Sivaràtri seperti tersebut di atas, maka hakekat perayaan Sivaràtri adalah menguak kegelapan pikiran manusia, untuk menumbuhkan kesadaran ketuhanan yang sejati, mampu mengembangkan cinta kasih yang tulus.

Pelaksanaan Brata Sivaràtri di India dan di Indonesia
Pelaksanaan Brata Sivaràtri di India pada paro petang ke-14 bulan Phlaguna (Februari-Maret) hampir sama dengan di Indonesia yang dilakukan pada paro petang ke-14 bulan Magha (Januari-Februari), yakni mereka tidak tidur selama 36 jam, sembahyang ke pura-oura Sang Hyang Siva dan pura-pura ini para Pùjari (semacam pandita atau pemangku di Bali) melakukan upacara Abhiseka Lióga, mempersembahkan Naivedya (sesajen yang umumnya terbuat dari tepung gandum ,susu, buah-buah dan sari buah), dilanjutkan dengan mengucapkan/membaca doa-mantra seperti Siva Saýhità, Sivamahimastotra, Sivasahasranàma (seribu nama Sang Hyang Siva) dan umat pada umumnya mengucapkan Japa Pañcàkûara Siva (Sivamahàmantra): OÝ NAMA SIVÀYA sejak pagi hingga keesokan harinya menjelang mata hari terbenam. Umat Hindu di samping melakukan UpavaSa (puasa) juga melakukan Bhajan (mengidungkan lagu-lagu suci memuji keagungan Tuhan Yang Maha Esa sepanjang siang dan malam hari. Bhajan yang tiada hentinya dilakukan oleh banyak orang secara serempak dan atau bergiliran disebut Akhandabhajan dan keesokan harinya umat Hindu berduyun-duyun mandi di sungai suci seperti Gaóga, Yamuna atau Patìrthan-Patìrthan terdekat.

Sebagai informasi yang akurat, kami kutipkan di sini pelaksanaan Sivaràtri yang dilaksanakan di Sivananda Asram, Rishikesh, Uttar Pradesh, sebagai berikut :

1. Seluruh siswa dan Sanyasin melakukan puasa sepanjang siang dan malam hari tanpa
minum setetes airpun.
2. Sebuah Havan (Agnihotra) yang besar dilaksanakan untuk memohon kedamaian dan
kesejahtraan seluruh umat manusia.
3. Sepanjang hari dan malam , semua siswa dan Sanyasin melakukan Japa mengucapkan
Sivamahàmantra Oý Nama Sivàya.
4. Sepanjang malam semu berkumpul di pura milik Asram dan melakukan Japa tersebut
diiringi dengan Bhajan atau meditasi.
5. Setiap tiga perempat malam dilaksanakan pemujaan (Abhiseka) Lióga secara khusuk.
(Semalam 4 kali pemujaan).
6. Dikûa kepada Sanyasin baru, juga diberikan oleh Sanyasin Guru pada hari yang suci
ini.

Terdapat sedikit variasi dalam perayaan Sivaràtri di India adalah hal yang wajar karena kondisi umat Hindu yang berbeda-beda. Di Indonesia, dalam rangka standardisasi Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat telah menetapkan keputusan Seminar tentang Sivaratri yang pelaksanaannya adalah sebagai berikut :

l. Brata Sivaràtri, terdiri dari :

a. Uttama, dengan melaksanakan :
1). Monabrata (berdiam diri dan tidak berbicara).
2). UpavaSa (tidak makan dan minum).
3). Jagra (berjaga/melek,tidak tidur).

b. Madhyama (menengah) dengan melaksanakan :
1). Upavasa (tidak makan dan minum).
2). Jagra (berjaga/melek,tidak tidur).

c. Kanistama (sederhana) dengan melaksanakan :
Hanya Jagra (berjaga/melek,tidak tidur).

2. Tatacara melaksanakan Upacara Sivaratri :
a. Untuk Sang Sadhaka sesuai dengan Dharmaning Kawikon.
b. Untuk Valaka (umat pada umumnya) didahului dengan asuci laksana (menyucikan
diri). Upacara dimulai dengan urutan sebagai berikut :
1). Maprayascitta, sebagai penyucian pikiran.
2). Mapajati , mempersembahkan sesajen ke Sanggar Surya untuk memohon
persaksian kehadapan sang Hyang Sùrya.
3). Sembahyang kehadapan leluhur yang telah mencapai Siddhadevatà, untuk
memohon bantuan dan tuntunanya.
4). Mempersembahkan sesajen kepada Sang Hyang Siva. Banten ditempatkan pada
palinggih, padmasana atau dapat pula pada piyasan di Sanggah Pamarajan. Bila
semua palinggih tidak tersedia (misalnya di halam atau ruangan terbuka) dapat
membuat semacam altar, yang dipandang wajar untuk melakukan sembahyang
yang ditujukan kepada Sang Hyang Siva dan dewata Samoddhaya. Setelah
sembahyang dilanjutkan dengan nunas Tirtha sebagai biasa.
5). Sementara melakukan sembahyang Brata, baik Mona (Mauna), Upavasa dan
Jagra tetap dilaksanakan.
Demikian antara lain brata dan pelaksanaan Sivaratri baik yang dilakukan di India maupun di Indonesia, semoga hikmah pelaksanaan brata yang utama ini dapat lebih meningkatkan keimanan kita kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Makna perayaan dan Upacara Sivaràtri
Memperhatikan keutamaan keutamaan Brata Sivaràtri dan bentuk perayaan Sivaràtri di India dan di Indonesia, maka relevansi perayaan Sivaràtri saat ini adalah untuk meningkatkan kesadaran ketuhanan yang bersthana dalam sanubari kita masing-masing. Kesadaran suci (Cetana) yang terbelenggu oleh badan dan terikat oleh karma dan reinkarnasi menyebabkan Sang Diri (Atman) seakan-akan terlupakan dalam kehidupan kita. Membangkitkan kesadaran Àtman atau kesadaran diri adalah proses pemburuan seperti yang dilukiskan oleh kitab-kitab Purana, termasuk juga karya kakawin Sivaràtrikalpa oleh Mpu tanakung. Di dalam teks (kitab-kitab Purana yang berbahasa Sanskerta maupun kakawin Sivaràtrikalpa yang berbahasa Jawa Kuno senantiasa dilukiskan kehidupan seorang pemburu atau seorang yang hidpnya melakukan perbuatan hina, seperti pencuri dan sejenisnya). Di malam Siva (Sivaràtri) mereka memperoleh pahala, karena tidak sengaja hanya melek semalam suntuk. Melek karena menunggu bintang yang akan diburu atau melek karena takut diterkam bintang dan melek karena tumbuh kesadaran ketuhanan dan cinta kasih dalam dirinya.

Bila kita kaitkaan dengan kakawin Arjuna Wiwàha, maka yang diburu adalah babi yang disebut sebagai lambang dari sifat tamas dan binatang buas umumnya adalah penggambaran sifat rajas. Memburu binatang di hutan, bila kta reflkesikan dengan ajaran Yoga, sesungguhnya berbuaru untuk melenyapkan atau mengendalikan sifat Rajas dan Tamas, yang dilambangkan dengan warna merah (kemarahan/emosional)) dan hitan atau gelap (sebagai lambang kebodohan atau kemalasan), sedang Sattvam dilambangkan dengan warna putih. Untuk menemukan warna putih sebagai wujud kesucian, maka kegelapan dan keangkaraan mesti dihapuskan dan bila hal ini terjadi, maka cinta kasih Tuhan Yang Maha Agung akan dapat kita wujudkan.

Dengan ilustrasi seperti yang disebutkan dalam kitab-kitab Purana maupundalam kakawin Sivaràtrikalpa, kita dituntut untuk menyucikan diri untuk menemukan hakekat atau kesejatian kita. Kehidupan bagaikan segelas air yang jernih, karma-karma buruk telah menodainya, yang dapat kita umpamakan setetes tinta yang jatuh ke dalam gelas yang berisi air yang jernih tersebut, maka merupakan kewajiban yang mesti kita lakukan untuk menjernihkan kembali air dalam gelas yang telah ternoda tersebut. Adapun jalan yang terbaik adalah mencarikan atau menggantikan gelas tersebut dengan wadah yang lebih besar dan menuangkan air jernih sebanyak-banyaknya ke dalam gelas tersebut, maka pada saatnya air itu akan menjadi jernih kembali. Untuk itu sangat relevan petuah mahàrûi Vararuci atau Katàyana dalam Sàrasamuccaya yang menyatakan: “apan ikang Subhakarma juga angentasaken ikang aSubhakarma”, hanya dengan jalan berbuat baik (sebanyak-banyaknya) dapat melenyapkan pahala dari karma-karma buruk di masa yang lalu”.

Demikianlah relevansi perayaan Sivaràtri saat ini, sesungguhnya mengandung makna reformasi, yakni melalui perayaan Sivaràtri umat Hindu kembali di arahkan untuk mengikuti kembali ajaran agama, guna menumbuhkan kesadaran ketuhanan di dalam diri setiap individu. Perayaan Sivaràtri saat ini sangat tepat bila dikaitkan dengan suasana kehidupan di sekitar kita, yang menurut kitab-kitab Purana ada dalam jaman kaliyuga. Kata “kali” berarti pertengkaran, kali juga berarti kegelapan, karena kegelapan, menimbulkan kerakusan, keangkaraan, arogansi dan sebagainya¸yang menjadikan sifat-sifat kebinatangan menginjak-injak nilai-nilai kemanuisaan yang luhur, dampaknya adalah terjadi berbagai kerusuhan dalam skala yang besar dan kecil, memudarnya nilai-nilai moralitas, karena kesucian Sang Hyang Atman, tidak memancar lagi dalam sebagian diri umat manusia.

Selanjutnya bila kita amati makna upacara melalui sarana persembahan (sesajen) maka tampak sebagai usaha menyucikan diri dan memantapkan tekad dalam menghadapi tantangan alam maupun mentalitas pribadi di dalam usaha menuju penyatuan dengan Tuhan Yang Maha Esa untuk mewujudkan kebahagiaan yang sejati. Kebahagiaan yang sejati bila berhasil diwujudkan dalam kehidupan ini disebut bhukti atau Jivanmukta, sedang bila setelah kematian nanti disebut Moksha. Dengan demikian makna upacara Sivaràtri sesungguhnya merupakan pelaksanaan Yoga (meditasi) yang dibungkus dengan pendidikan dan pengendalian diri.

Sivaràtri dan rekonsiliasi intern dan antar umat beragama
Rekonsiliasi berarti kerukunan atau toleransi yang sejati! Kenapa saat ini kita membahas rekonsiliasi? Pertanyaan ini dapat dicermati bahwa di sekitar kita telah terjadi situasi yang mencemaskan yang dapat mengancam tali persaudaraan dan kekeluargaan kita. Dengan memaknai perayaan Sivaràtri intern umat Hindu hendaknya mampu mengkonsolidasikan dirinya guna menghadapi berbagai tantangan, baik tantangn intern maupun ekstern yang dapat mendangkalkan Sraddhà dan Bhakti umat. Tantangan atau permasalah intern umat Hindu hendaknya segera dituntaskan dan satu-satunya jalan pamungkasnya adalah dengan memajukan pendidikan agama Hindu, khususnya nilai-nilai moralitas dan spiritualitas, sehingga agama tidak hanya bersifat verbal, tetapi saudah mampu mentransformasikan umatnya dari Manava-Manava menuju dan menjadi Madhava-Madhava, bukan sebaliknya jatuh menjadi Danava-Danava, raksasa-raksas yang menghancurkan keperibadian Hindu yang sejati.

Tantang eksternal adalah usaha pihal-pihak tertentu, langsung atau tidak langsung mengarah kepada konversi atau beralihnya umat Hindu menganut agama yang lain. Tantangan ini dapat ditangkal dengan menanamkan militansi generasi muda Hindu dengan membuka wawasan serta memberikan pendalaman Sraddha dan pengamalan Bhakti, dengan Sraddha yang teguh, umat akan mampu mengatasi tentangan tersebut, untuk itu keluarga adalah benih pesemaian tumbuh-kembangnya Sraddhà seorang anak yang pada saatnya nanti tangguh menghadapi tantangan.

Dalam rangka mewujudkan stabilitas daerah, regional dan nasional kerukunan umat beragama hendaknya ditumbuhkembangkan. Kerukunan tidak berarti membangun tempat peribadatan sebanyak-banyaknya, tetapi hendaknya setiap umat beragama menghargai kekhasan daerah masing-masing, misalnya kita mengenal Aceh sebagai Serambi mekah, silakan di sana membangun mesjid dan sejenisnya yang besar-besar dan megah, tetapi Bali yang dikenal ke manca negara sebagai pulau Dewata, hendaknya umat beragama lain menahan diri untuk jangan membangun tempat beribadat secara menjolok yang di sadari atau tidak akan berdampak munculnya kasus SARA di daerah Bali.

Penutup
Demikian Makna Upacara Sivaràtri yang mengamanatkan umat-Nya kembali kepada ajaran agama yang termuat dalam berbagai kitab-kitab Veda dan susastra Hindu lainnya.

Dengan pelaksanaan perayaan Sivaràtri, umat Hindu dapat meningkatkan kualitas spiritual untuk lebih mendekatkan diri kepada sang Hyang Widhi Wasa, Tuhan Yang Maha Agung, sekaligus menumbuhkan rekonsiliasi intern dan kerukunan antar umat beragama di daerah Bali.

sumber: http://www.e-banjar.com/content/view/233/lang,en/